EKBIS.CO, JAKARTA -- Menteri ESDM Ignasius Jonan meminta kepada DPR RI untuk mematok asumsi dasar Indonesian Crude Price (ICP) atau harga minyak mentah sebesar 60 hingga 70 dolar per barel dalam RAPBN 2019. Hal ini karena harga minyak dunia yang masih tinggi dan konsumsi masyarakat atas BBM masih sangat tinggi.
Jonan menjelaskan, pergerakan kenaikan ICP sudah terlihat sejak 2016. Pada periode 2016, ICP sebesar 40,13 dolar per barel. Sementara itu, pada 2017 ICP naik menjadi 51,19 dolar per barel. KemudiN, pada 2018 ini ICP sudah menginjak 65,79 dolar per barel. "Melihat pergerakan ini, kami usul ICP dipatok berkisar 60 sampai 70 dolar," ujar Jonan di Kompleks DPR RI, Selasa (5/6).
Jonan juga merujuk pergerakan WTI berdasarkan Short Term Energy Outlook pada 8 Mei 2018 sebesar 60,86 dolar per barel dan minyak Brent berdasarkan polling Reuters Perbankan dan Industri sebesar 66,39 dolar per barel.
Menurut Jonan, kondisi minyak dunia juga dipengaruhi oleh negara-negara produsen minyak yang menyokong pergerakan harga. Selain itu, prediksi pemulihan pertumbuhan ekonomi global akan berdampak pada peningkatan permintaan energi, termasuk minyak mentah dunia.
"Diperkirakan akan terjadi peningkatan pasokan oleh beberapa negara non-OPEC yang memanfaatkan momentum pemangkasan produksi untuk meningkatkan pengeboran dan peningkatan produksi di Amerika Serikat," ujar Jonan.
Sementara itu, harga minyak turun pada akhir perdagangan Senin (Selasa pagi WIB). Penurunan disebabkan oleh meningkatnya produksi minyak mentah di Amerika Serikat terus membebani pasar.
Patokan AS, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Juli turun 1,06 dolar AS, menjadi menetap di 64,75 dolar AS per barel di New York Mercantile Exchange.
Sementara itu, patokan global minyak mentah Brent untuk pengiriman Agustus turun 1,50 dolar AS menjadi ditutup pada 75,29 dolar AS per barel di London ICE Futures Exchange.
Badan Informasi Energi AS (EIA) melaporkan pekan lalu bahwa produksi minyak mentah AS naik 2,1 persen dari angka Februari menjadi 10,474 juta barel per hari pada Maret. Angka ini juga melonjak 14,6 persen dari Maret 2017
Besaran subsidi
Kenaikan harga minyak juga berpengaruh terhadap besaran subsidi. Direktur Jendral Minyak dan Gas Bumi Djoko Siswanto mengatakan, pemerintah menetapkan besaran subsidi solar sebesar Rp 2.000 per liter. Hal itu berdasarkan hasil rapat dan perhitungan yang dilakukan Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, dan Pertamina.
Djoko menjelaskan, keputusan penambahan subsidi sebesar Rp 2.000 per liter karena harga minyak dunia yang terus merangkak naik. Belum lagi, di tengah harga jual dari badan usaha lain yang juga turut merangkak, pemerintah menilai perlu menambah besaran subsidi kepada Pertamina agar tidak terlalu berat. "Harga minyak dunianya naik, ya kita tambah 2.000 biar Pertamina gak berat-berat amat," ujar Djoko di Kementerian ESDM, Senin (4/6) malam.
Selain itu, Djoko menegaskan, kenaikan rencana subsidi ini juga mempertimbangkan agar masyarakat tidak terbebani. Apalagi menjelang Lebaran. Jika Premium sesuai dengan harga keekonomian, harganya sudah setara Pertamina Dex.
Namun, terkait mekanisme penambahan subsidi solar, Djoko mengatakan, hal tersebut merupakan kewenangan Kementerian Keuangan. Pihaknya hanya mengusulkan seperti apa kondisi harga dan perhitungannya. "Ya, kalau mekanismenya gimana tanya sama Menkeu. Kita sudah ajukan hitungannya. Nanti apakah mau lewat APBNP, DPR, atau seperti apa kewenangannya di Kemeneku," ujar Djoko.
Sebelumnya, pemerintah sempat mengusulkan tambahan subsidi untuk solar kepada Pertamina sebesar Rp 1.500. Hal ini dilakukan di tengah harga minyak dunia yang terus naik.