Rabu 04 Jul 2018 15:55 WIB

Berinvestasi Saat Ini Dinilai Cukup Menarik

Saham-saham yang dimiliki asing turunnya dua kali lipat.

Rep: Iit Septyaningsih/ Red: Teguh Firmansyah
Karyawan mengamati pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta. ilustrasi (Republika/ Tahta Aidilla)
Foto: Republika/ Tahta Aidilla
Karyawan mengamati pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta. ilustrasi (Republika/ Tahta Aidilla)

EKBIS.CO, JAKARTA -- Perusahaan Manajer Investasi Eastspring Investment Indonesia menilai, berinvestasi dalam kondisi saat ini cukup menarik. Alasannya, pergerakan sejumlah saham terlihat panik dan harganya jatuh. 

"Hanya saja bukan berarti harus masuk sekaligus melainkan secara bertahap," ujar CFA Chief Investment Officer Eastspring Indonesia Ari Pitojo dalam Halal Bihalal Bersama Media di Jakarta, Rabu, (4/7).

Ia menambahkan, kondisi pasar modal kini memang tengah menurun.  Koreksi yang terjadi di pasar saham serta obligasi selama beberapa bulan belakangan merupakan konsekuensi akibat terjadinya kenaikan suku bunga The Fed yang lebih cepat karena pemulihan ekonomi di Amerika Serikat (AS).

Ditambah timbulnya ketegangan geopolitik seperti perang dagang antara AS dan Cina.

"Jadi market turun kebanyakan lebih karena sentimen. Sentimen orang luar lihat Indonesia. Makanya, saham-saham yang dimiliki asing turunnya dua kali lipat, itu menunjukkan asing men-drive pelemahan," jelas Ari.

Sementara itu, kata dia, kondisi makroekonomi Indonesia sebenarnya secara keseluruhan masih baik. Bahkan terus mengalami perbaikan.  Perekonomian nasional pun tumbuh sebesar 5,06 persen di kuartal pertama 2018. Tahun ini, pasar memperkirakan ekonomi akan tumbuh 5,3 persen yang ditopang oleh sektor konsumsi dan investasi.

"Pilkada serentak diperkirakan akan menambah kontribusi pertumbuhan ekonomi sebesar 0,2 persen. Inflasi juga cenderung terkendali di kisaran tiga persen," tuturnya.

Lebih lanjut, kata dia, kuncinya kini ada di perubahan suku bunga The Fed yang diperkirakan akan naik sebanyak empat kali di 2018. "Pasar lebih khawatir Fed Fund Rate dibandingkan karena perang dagang," ujar Ari.

Baca juga, Rupiah Melemah, Menkeu: Kita Seleksi Impor.

Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati meyakini minat investor pada Surat Utang Negara (SUN) tetap terjaga. Pemerintah berhasil menjual SUN dalam lelang sebesar Rp 11 triliun dari total penawaran sebesar Rp 21 triliun.

"Saya rasa itu adalah salah satu bentuk dinamika pasar yang cukup baik apalagi mempertimbangkan situasi yang sekarang sedang terjadi. Sentimen terhadap mata uang regional terutama RRT masih terus berlanjut sehingga kita harus terus mewaspadai," kata Sri di kompleks parlemen, Jakarta pada Selasa (3/7).

Berdasarkan siaran pers yang dirilis Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, pemerintah melakukan lelang SUN pada 3 Juli 2018 untuk seri SPN12181004 (reopening), SPN12190704 (new issuance), FR0063 (reopening), FR0065 (reopening) dan FR0075 (reopening) melalui sistem lelang Bank Indonesia. 

Meski BI telah menaikkan suku bunga acuan BI 7 Days Reverse Repo Rate 50 basis poin menjadi 5,25 persen, ternyata minat investor belum meningkat. Dalam lelang tersebut, total penawaran yang masuk sebesar Rp 21 triliun. Total penawaran itu lebih rendah dari lelang SUN pada 5 Juni 2018 yang sebesar Rp 29 triliun.

Sri mengaku, pemerintah akan terus mencermati pengelolaan APBN hingga akhir tahun di tengah gejolak perekonomian yang tengah terjadi. Ia pun meyakini kebutuhan pembiayaan akan tetap terjaga hingga akhir tahun.. "Kita berhati-hati dan saya merasa pembiayaan tetap terjaga sampai akhir tahun," kata Sri.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement