EKBIS.CO, JAKARTA -- Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menyatakan, Indonesia perlu lebih keras lagi dalam menggenjot ekspor sebagai upaya untuk menstabilkan nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Meningkatkan nilai ekspor akan jauh lebih efektif daripada kebijakan berupa intervensi pasar.
"Ini lebih efektif dari kebijakan sebelumnya," ujar Peneliti Center for Indonesian Policy Studies Novani Karina Saputri di Jakarta, Selasa.
Menurut Novani, kebijakan Bank Indonesia (BI) yang merespons kenaikan suku bunga The Fed dengan turut meningkatkan suku bunga acuan hanya efektif untuk jangka pendek. Hal ini, lanjutnya, juga tidak memberikan dampak signifikan terhadap kestabilan nilai tukar rupiah.
Peningkatan nilai ekspor, jelas dia, juga penting untuk menstabilkan kembali neraca perdagangan. Ia mengingatkan bahwa neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit antara lain karena nilai impor migas mengalami peningkatan.
"Impor migas di Mei 2018 meningkat sebanyak 20,95 persen dibandingkan dengan bulan April dan meningkat 57,17 persen dibandingkan dengan bulan Mei 2017," tuturnya.
Untuk itu, ujar dia, BI dan pemerintah harus terus mencari upaya untuk meningkatkan potensi ekspor. Novani berpendapat bahwa tidak selamanya BI dapat mengandalkan BI 7 days Repo Rate dan intervensi ganda melalui pasokan valas dan pembelian Surat Berharga Negara (SBN) untuk mengendalikan nilai tukar rupiah terhadap dollar.
"Daripada terus-terusan merespons kenaikan suku bunga The Fed dengan menaikkan suku bunga acuan dan intervensi pasar lainnya, BI sebaiknya bekerja sama dengan pemerintah untuk sama-sama meningkatkan nilai ekspor," ucapnya.
Apalagi, ujar dia, Indonesia punya banyak potensi ekspor yang potensial untuk digenjot produktivitasnya.
Baca juga, Pelemahan Rupiah Diyakini Jadi Ancaman Bagi Pelaku UMKM.
Bank Indonesia (BI) memutuskan menaikkan suku bunga acuannya BI 7 Days Reverser Repo Rate sebesar 50 basis poin. Dengan kenaikan itu, kini suku bunga ditetapkan sebesar 5,25 persen dari sebelumnya 4,75 persen.
Gubernur BI Perry Warjiyo menegaskan, langkah ini diambil demi menstabilkan nilai tukar rupiah di tengah berbagai tekanan global, terutama dari Amerika Serikat (AS).
"Keputusan ini berlaku efektif mulai Jumat 29 Juni 2018," ujar Perry di gedung BI, Jakarta, Jumat, (29/6).
Tidak hanya suku bunga acuan, bank sentral juga menaikkan suku bunga deposit facility dan lending facility sebesar 50 basis poin, masing-masing menjadi 4,5 persen serta 6 persen.
Perry pun menjelaskan, keputusan kenaikan suku bunga tersebut merupakan langkah lanjutan Bank Indonesia untuk secara pre-emptive, front-loading, dan a head of the curve menjaga daya saing pasar keuangan domestik terhadap perubahan kebijakan moneter sejumlah negara. Ditambah ketidakpastian pasar keuangan global yang masih tinggi.
"Kebijakan tersebut tetap ditopang dengan kebijakan intervensi ganda di pasar valas dan di pasar surat berharga negara serta strategi operasi moneter untuk menjaga kecukupan likuiditas, khususnya di pasar uang rupiah dan pasar swap antarbank," kata Perry.