Kamis 19 Jul 2018 22:17 WIB

PDIP tak Setuju Kondisi Ekonomi Disamakan dengan 1998

Politikus PDIP itu menilai, ada yang mencoba mendramatisasi situasi seolah berbahaya

Red: Bayu Hermawan
Anggota DPR Fraksi PDIP Adian Napitupulu menyampaikan pernyataan sikap di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta Jumat (20/11).
Foto: Antara/Puspa Perwitasari
Anggota DPR Fraksi PDIP Adian Napitupulu menyampaikan pernyataan sikap di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta Jumat (20/11).

EKBIS.CO, JAKARTA -- Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Adian Napitupulu tidak setuju dengan pihak-pihak yang menyamakan kondisi perekonomian saat ini, dengan kondisi tahun 1998. Politikus PDIP itu menilai, ada yang mencoba mendramatisasi situasi seolah berbahaya.

"Tidak tepat jika nilai tukar dolar AS hari ini yang berada di kisaran Rp14.400 disamakan dengan kegentingan ekonomi yang sama dengan tahun 1998," ujar anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan Adian Napitupulu di Jakarta, Kamis (19/7).

Adian menegaskan pihak yang menyamakan nilai tukar dolar AS hari ini sudah segenting 20 tahun lalu, hanya melihat angka dolar tanpa mengetahui angka-angka lain, misalnya angka upah minimum regional. Pihak itu, menurut Adian, mencoba mendramatisasi situasi seolah menakutkan dan berbahaya. "Opini ini bisa jadi didesain untuk tujuan politik," kata Adian.

Mantan aktivis 1998 itu menduga, opini bermotif politik itu digulirkan dengan harapan rakyat percaya bahwa nilai tukar rupiah terhadap dolar pada Pemerintahan Joko Widodo seolah dalam situasi yang persis sama dengan situasi 20 tahun lalu. Ia lalu memberikan perbandingan atas kondisi perekonomian saat ini dengan 1998.

Nilai tukar dolar di akhir Agustus 1997 berada pada kisaran 1 dolar AS senilai Rp2.500, dengan UMR DKI ditetapkan Rp172.500 per bulan atau sekitar 69 dolar AS per bulan. Dalam waktu tidak lebih dari 10 bulan dari menjelang akhir Agustus 1997 hingga rentang Januari-Juli 1998 nilai tukar dolar AS merayap naik lalu melonjak mendekati Rp16.800. Pada saat dolar menyentuh Rp16.800 itu, kata Adian, UMR DKI ada di angka Rp192.000 per bulan atau setara dengan 11,4 dolar AS.

"Artinya dari 1997 ke 1998 kenaikan UMR hanya Rp20.000 atau sekitar 13 persen, sementara kenaikan nilai dolar AS mencapai 600 persen," ujar dia pula.

Akibatnya, ujar Adian, penurunan daya beli masyarakat menjelang reformasi memang sangat tajam, dan membuat banyak perusahaan gulung tikar diikuti PHK massal. Sementara kondisi saat ini, kata dia, pada saat Jokowi dilantik menjadi Presiden, Oktober 2014 nilai tukar dolar berada di kisaran Rp12.200 dimana pada saat yang sama UMR DKI berada di angka Rp2.441.000 per bulan. Artinya pada bulan Oktober 2014 UMR DKI setara dengan 200 dolar AS.

Kemudian Juli 2018 saat ini, nilai tukar dolar AS ada pada kisaran Rp14.400 dengan UMR DKI Rp3.648.000 per bulan atau setara dengan 253 dolar AS. "Dari Oktober 2014 hingga Juli 2018 dolar AS merayap naik Rp2.200 atau sekitar 18 persen, sementara UMR DKI mengalami kenaikan dari Rp2.441.000 menjadi Rp3.648.000 atau jika dikonversi dengan dolar dari tahun 2014 hingga 2018 UMR naik 26 persen dari 200 dolar AS menjadi 253 dolar AS," katanya lagi.

Dia menekankan perbandingan kurs dolar dengan UMR saat ini menunjukkan bahwa kenaikan kurs dolar sebesar 18 persen tidak berdampak pada daya beli layaknya terjadi pada situasi Mei-Juli 1998. Lebih jauh Adian juga membandingkan tingkat daya beli masyarakat tahun 1998 dengan saat ini.

Pada Juli 1998 besaran UMR Rp192.000 per bulan. Sedangkan harga beras medium saat itu Rp2.800 per kilogram. Artinya pada saat itu rakyat dengan UMR-nya hanya dapat membeli 69 kg beras per bulan. Sedangkan dengan UMR saat ini Rp3.648.000 per bulan dan harga beras medium sesuai harga eceran tertinggi berada di kisaran Rp9.500 hingga Rp10.000 per kg, maka rakyat bisa membeli 364 kg beras hingga 384 kg beras per bulan.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement