EKBIS.CO, JAKARTA -- Pemerintah bersama Gabungan Produsen Tahu Tempe Indonesia (Gakoptindo) dan Koperasi Produsen Tahu Tempe (Kopti) memastikan mata rantai distribusi kedelai yang terlalu panjang antara importir dengan perajin tahu dan tempe telah dipotong. Setidaknya ada tiga sampai empat titik yang terhapus.
Ketua Umum Gakoptindo Ayip Syariffudin mengatakan, pemotongan ini dilakukan untuk memastikan perajin tahu dan tempe dapat membeli kedelai dengan harga lebih murah. Penghematan ini dapat mencapai empat persen, yakni Rp 300 sampai Rp 400 per kilogram atau Rp 300 ribu hingga Rp 400 ribu per ton kedelai.
Sebelum mata rantai distribusi dipersingkat, harga jual kedelai di koperasi mencapai Rp 7.600 hingga Rp 7.700 per kilogram. "Setelah ditetapkan pemotongan (mata rantai), perajin tahu dan tempe jadi bisa membeli sampai Rp 7.300 per kilogram," tuturnya ketika ditemui di Rumah Perajin Tempe dan Tahu Primkopti Jakarta Barat, Kamis (20/9).
Menurut Ayip, selama ini produsen tempe dan tahu harus menghadapi mata rantai distribusi yang panjang. Dari importir, kedelai dilempar ke distributor, pedagang grosir, pedagang pasar baru sampai ke perajin. Sekarang, dengan kerja sama Kementerian Perdagangan (Kemendag), importir langsung masuk ke koperasi.
Ayip menuturkan, harga yang dijual dari importir sebenarnya Rp 7.050 per kilogram. Tapi, ada biaya tambahan berupa penggunaan angkutan truk dan sumber daya manusia untuk mengangkut dan menurunkan kedelai.
"Apabila dihitung-hitung, tambahannya Rp 250 per kilogram. Makanya, di koperasi dijual Rp 7.300," ucapnya.
Kolaborasi ini bukanlah kerja sama pertama antara Gakoptindo dengan Kopti. Tapi, saat itu, dukungan pemerintah belum full sampai akhirnya tidak diteruskan.
Koperasi pun direnovasi sampai akhirnya kosong dan tidak dipergunakan untuk sementara waktu.Saat ini, Gakoptindo kembali menjalin kerja sama dengan Kopti yang difasilitasi juga oleh pemerintah.
Menurut Ayip, kolaborasi sekarang baru sampai di tingkat Jakarta Barat. Nantinya, sistem yang sama akan berlaku di seluruh Indonesia.
Ayip menjelaskan, total kebutuhan kedelai untuk produsen tahu dan tempe mencapai hampir 2 juta ton per tahun. Total tersebut untuk 21 provinsi dan sekitar 300 kabupaten maupun kota madya. Jumlah rumah produksi mencapai lebih dari 115ribu dengan total tenaga kerja 5 juta orang.
Ayip menuturkan, alokasi kedelai terbesar ditempatkan di Jawa Timur dengan total 35ribu ton per bulan yang diikuti Jawa Tengah dengan 30ribuan ton per bulan. "Untuk Jawa Barat 18ribu ton baru DKI sekitar 15ribu ton. Sisanya baru ke daerah luar Jawa," ucapnya.
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan, penurunan harga kedelai ini diakibatkan beberapa faktor. Pertama, ada kesepakatan dengan importir, yakni tidak menaikkan harga sesuai dengan konversi kurs dolar AS.
Kedua, importir sepakat bahwa sejauh mereka tidak rugi, mereka akan bertahan dengan harga yang sudah disepekati yakni Rp 7.050 per kilogram. Terakhir adalah hasil kerja keras Gakoptindo. "Dari semula importir ke produsen harus melalui mata rantai panjang, sekarang tidak lagi," ucap Enggar.
Pemotongan mata rantai ini memang akan menyulitkan importir. Beban kerja mereka bertambah, dari sekadar mengirimkan kedelai ke satu tempat (agen) jadi ke beberapa tempat (koperasi). Tapi, Enggar berkomitmen untuk memberi pemahaman terhadap importir.
Enggar menambahkan, pengendalian harga kedelai di tingkat perajin ini merupakan upaya awal untuk swasembada kedelai. Karena target swasembada tidak semudah membalikan tangan, sekarang pemerintah dan Gakoptindo fokus pada pengendalian harga.
Kestabilan harga kedelai menjadi prioritas karena merupakan bahan baku dengan kontribusi 90 persen terhadap industri tahu dan tempe. Sisanya diisi oleh material penunjang seperti plastik dan/ atau daun, dan bahan lain. "Jadi, selama kedelai stabil, harganya pun akan stabil," tutur Enggar.
Saat ini, Enggar menilai ekosistem industri tahu dan tempe sudah terbilang baik, termasuk dengan kolaborasi antara industri rumahan dengan perusahaan besar. Produk turunan berupa keripik tempe pun sudah dibuat oleh para perajin sebagai bentuk diversifikasi produk.
Setelah kualitas diperbaiki, Enggar berjanji untuk mendampingi perajin dalam mendapatkan izin BPOM untuk keripik tempe. "Lalu nanti masuk ke pasar ritel modern dulu. Setelah dari sisi kemampuan produksi tercapai, baru bertahap dilakukan ekspor," ujarnya