EKBIS.CO, JAKARTA -- Ketua Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi) Abdullah Mansuri sepakat dengan sikap tegas yang diambil Direktur Utama Bulog Budi Waseso terkait impor. Sebab, kondisi beras di pasar masih dalam keadaan baik.
"(Stok beras di pasar) tidak mengkhawatirkan," katanya saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (20/9).
Keputusan impor menurutnya tidak perlu dilakukan jika pemerintah memiliki data yang jelas. Data yang terperinci meliputi berapa luasan lahan yang panen, berapa produksi beras tiap kuartal sehingga pemerintah bisa mengambil kebijakan yang tepat.
Pihaknya pun telah menyarankan pada awal tahun agar pemerintah membuat skema beras meliputi pupuk, bibit hingga luasan tanam.
Beras impor diakuinya memang lebih murah dari segi harga dibandingkan beras produksi dalam negeri, namun yang dibandingkan bukanlah kualitas setara. "Harga jelas lebih murah beras impor karena yang dibandingkan bukan apple to apple," ujarnya.
Harga beras saat ini di pasar diakui Abdullah cukup tinggi karena adanya Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah. HET tersebut membuat beberapa pedagang besar melakukan pengoplosan untuk mendapatkan harga beras premium.
Bulog Divre Sumbar terpaksa menyewa gudang milik swasta untuk menampung 7.500 ton beras impor asal Vietnam. Bila impor tetap dilanjutkan, maka Bulog harus menyewa gudang lain dengan biaya ratusan juta perbulan.
Pemerintah sudah membuka keran impor beras cukup besar tahun ini. Namun, beras tersebut rupanya tidak berdampak pada kondisi harga di pasar.
"Belum ada," ujarnya.
Saat ini, harga di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) untuk IR 64 III sebesar Rp 8.725 per kg, Rp 9.525 per kg untuk IR 64 II dan Rp 10.300 untuk beras IR 64 I.
Dengan dilakukannya impor, menurutnya ada ada efek berbahaya terhadap sektor beras nasional. Indonesia akan menjadi negara yang bergantung pada impor.
Petani yang kini menikmati harga bagus akan terpukul dengan masuknya beras impor karena kalah bersaing di lapangan. Hal ini bisa berpengaruh pada gairah petani untuk menanam padi.
"Kalau petani sudah tidak mau lagi menanam, ini berbahaya untuk kemandirian pangan nasional," ujar dia.
Lagipula, Perum Bulog sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang ditugaskan untuk mengimpor tidak sanggup lagi menampung beras. Gudang Bulog telah penuh dan memaksa perusahaan tersebut menyewa gudang dan berdampak pada biaya produksi.
Ia menekankan, keputusan impor ini tidak mengulang kegagalan Indonesia dalam menangani produksi bawang putih. Contohnya, 90 persen kebutuhan bawang putih Indonesia dipenuhi dari impor padahal dulu Indonesia mampu memproduksi bawang putih.
Meski pemerintah membuat keputusan wajib tanam bawang putih bagi importir. "Tapi sudah terlambat," kata dia.