EKBIS.CO, JAKARTA -- Peternak mengeluhkan tingginya harga jagung industri pakan yang membuat peternak ayam terdampak tekanan kesulitan. Jumlah produksi jagung nasional dinilai tidak bisa memenuhi jumlah konsumsi jagung nasional.
"Di saat yang bersamaan, pemerintah justru membatasi impor jagung tanpa memperhatikan pasokan memadai," kata Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Imelda Freddy di Jakarta, Selasa (25/9).
Harga jagung saat ini sudah mencapai Rp 5.200 per kilogram (kg). Padahal, rata-rata biasanya hanya di angka Rp 4.000.
Naiknya harga jagung menjadi salah satu indikator kurangnya suplai jagung secara nasional. Di sisi lain, batasan impor jagung masih terus disuarakan karena pasokan dalam negeri dianggap sudah memenuhi.
Hal itu berdampak langsung kepada para produsen pakan ternak. Terjadi peralihan komponen utama bahan baku pembuat pakan ternak dari jagung ke gandum. Padahal, harga gandum lebih mahal daripada jagung.
"Lebih dari 45 persen pakan ayam berasal dari jagung sehingga kelangkaan jagung pasti akan memengaruhi produksi pakan nasional. Belum lagi jumlah produksi jagung harus berebut dengan permintaan konsumen yang ditujukan untuk non pakan ternak," ujarnya.
Oleh karena itu, dibutuhkan peningkatan pasokan jagung guna menjaga stabilitas kebutuhan untuk bahan pokok pakan ternak. Menurutnya, jumlah produksi jagung sendiri saat ini masih tidak stabil di sepanjang tahun.
Penyebabnya ada pergantian jenis komoditas pertanian yang dilakukan oleh pada petani. Jika hal tersebut tidak segera diatasi, dan terjadi alih bahan baku pakan ke gandum, maka akan menimbulkan dampak negatif terhadap petani jagung. Hasil produksi mereka tidak terserap oleh pasar.
Terkait dengan target produksi jagung nasional sebesar 30 juta ton, Imelda menilai, hal tersebut tidak realistis. Menurutnya, proyeksi itu dihitung hanya berdasar potensi benih jagung yang dikalikan luas lahan dengan tidak mengikutsertakan variabel lainnya.
Contohnya tidak ada penghitungan soal produksi panen yang tercecer saat proses distribusi atau pengangkutan dan produksi panen yang tidak memenuhi standar atau busuk.
Idealnya, untuk menghitung target produksi perlu beberapa variabel yang harus diikutsertakan. Mulai dari jagung yang busuk, jagung yang tercecer saat distribusi, variabel eksternal seperti cuaca, sistem irigasi, sampai serangan hama.
"Selain itu, angka ini akan sulit dicapai karena mesin pengering masih jarang ditemui di desa-desa penghasil jagung. Dengan adanya mesin pengering, petani tidak perlu mengeringkan jagung di bawah terik matahari, mesin pengering juga akan sangat membantu petani saat musim hujan," jelas Imelda.
Berdasarkan data dari Kementerian Pertanian (Kementan), jumlah produksi jagung nasional mengalami peningkatan pada periode 2013 sampai 2017. Pada 2013 jumlah produksi jagung nasional adalah 18,5 juta ton dan meningkat menjadi 19 juta ton dan 19,6 juta ton pada 2014 dan 2015. Pada 2016 dan 2017 jumlahnya menjadi 19,7 juta ton dan 20 juta ton.
Di saat yang bersamaan, jumlah konsumsi jagung nasional juga terus naik. Pada periode 2013-2015, jumlah konsumsi jagung nasional berturut-turut sebesar 21,6 juta ton; 22,5 juta ton; dan 23,3 juta ton. Ada sedikit penurunan pada 2016 yaitu menjadi 22,1 juta ton. Jumlah ini kembali naik menjadi 23,3 juta ton pada 2017.
Selaras, Guru Besar Institu Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas mengamini, naiknya harga pakan ternak bukan hanya karena kebutuhan jagung sebagai bahan bakunya tidak mencukupi. Lebih daripada itu, bergantungnya pakan ternak pada impor jagung membuat harganya terus terkerek tinggi.
Ia mengemukakan impor gandum yang melonjak tinggi dari tahun 2016 seakan menjadi substitusi dari dilarangnya impor jagung lewat Permentan Nomor 57 Tahun 2015 tentang Pemasukan dan Pengeluaran Bahan Pakan Asal tumbuhan ke dan dari Wilayah Indonesia.
Baca juga, Peternak Ingin Harga Jagung Turun