Rabu 26 Sep 2018 12:30 WIB

Freeport tak Bisa Diambil Alih Gratis

Jika pun menang arbitrase Pemerintah Indonesia tetap harus membeli aset PTFI.

Red: Gita Amanda
Penandatanganan Divestasi Saham Freeport. Direktur Utama PT Inalum Budi Gunadi Sadikin bersama CEO Freeport-McMoran Inc Richard Adkerson menandatangni perjanjian divestasi saham PT Freeport Indonesia disaksikan Menkeu Srri Mulyani (dari kanan) di Kementerian Keuangan, Jakarta, Kamis (12/7).
Foto: Republika/ Wihdan
Penandatanganan Divestasi Saham Freeport. Direktur Utama PT Inalum Budi Gunadi Sadikin bersama CEO Freeport-McMoran Inc Richard Adkerson menandatangni perjanjian divestasi saham PT Freeport Indonesia disaksikan Menkeu Srri Mulyani (dari kanan) di Kementerian Keuangan, Jakarta, Kamis (12/7).

EKBIS.CO, JAKARTA -- Divestasi Freeport akan segera rampung bulan ini. Namun, pro dan kontra masih terjadi setelah ditandatanganinya perjanjian final antara holding industri pertambangan PT Inalum (Persero) dengan Freeport McMoRan (FCX) pada 26 September. Padahal, perjanjian itu untuk meningkatkan kepemilikan saham Inalum di PT Freeport Indonesia (PTFI) dari 9,36 persen menjadi 51,2 persen.

Berdasarkan siaran pers dari PT Inalum, Rabu (26/9), di antara pendapat kontra adalah pertanyaan mengenai dilakukannya perjanjian divestasi yang tidak menunggu Kontrak Karya (KK) Freeport berakhir di 2021. Alasannya, jika menunggu KK berakhir, maka Indonesia bisa mendapatkannya secara gratis.

Dengan kata lain, ketika KK berakhir, secara otomatis wilayah tambang emas di Papua tersebut akan dikembalikan kepada Indonesia secara cuma-cuma. Sehingga biaya divestasi sebesar 3,85 miliar dolar AS tidak harus dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia. Tentu saja, asumsi ini merupakan asumsi yang sesat.

KK Freeport tidak sama dengan kontrak yang berlaku di sektor minyak dan gas yang jika konsesi berakhir, maka akan secara otomatis dimiliki Pemerintah dan dikelola oleh Pertamina. Dalam peralihan tersebut, memang pemerintah tidak mengeluarkan uang sepeser pun. Sebab, aset perusahaan migas dimiliki sepenuhnya oleh pemerintah yang sebelumnya membayar kontraktor lewat skema cost recovery.

Adapun KK Freeport yang ditandatangani pada 31 Desember 1991, seharusnya memang berakhir pada 2021. Namun, dalam hal ini terdapat perbedaan antara pemerintah dan Freeport dalam menafsirkan substansi KK.

Freeport menafsirkan, mereka berhak mendapatkan perpanjangan KK hingga 2041 dan Pemerintah tidak akan menahan atau menunda persetujuan tersebut secara "tidak wajar". Berdasarkan pengertian dari FCX tersebut, maka jika pemerintah tidak memperpanjang kontrak sampai 2041, FCX mempunyai landasan dasar untuk membawa masalah ini ke arbitrase internasional.

Masalahnya, peluang Pemerintah Indonesia untuk memenangkan arbitrase tak terjamin 100 persen. Jika kalah dalam arbitrase, pemerintah tak hanya diwajibkan membayar ganti rugi senilai miliaran dolar AS ke FCX. Lebih dari itu, seluruh aset pemerintah di luar negeri dapat disita jika pemerintah tidak membayar ganti rugi tersebut.

Selain itu, proses panjang arbitrase tentunya akan menyebabkan ketidakpastian operasi yang secara otomatis akan membahayakan kelangsungan tambang. Belum lagi ongkos sosial ekonomi yang amat besar, khususnya di Kabupaten Mimika dan Provinsi Papua.

“Perbedaan penafsiran tersebut merupakan pangkal permasalahan yang berpotensi berakhir di arbitrase. Padahal, biaya yang diperlukan untuk berperkara di arbitrase tidak sedikit dan tidak ada jaminan Indonesia akan memenangkan arbitrase,” kata Direktur Reforminer Komaidi Notonegoro.

Sekalipun Indonesia diasumsikan menang dalam arbitrase, berdasarkan ketentuan KK, Indonesia sesungguhnya juga tidak akan memperoleh tambang emas di Papua tersebut secara gratis. Pemerintah Indonesia tetap harus membeli aset PT Freeport Indonesia (PTFI) minimal sebesar nilai buku berdasarkan laporan keuangan audited yang diestimasi sekitar 6 miliar dolar AS.

Selain itu, pemerintah juga masih harus membeli infrastruktur jaringan listrik di area penambangan yang nilainya lebih dari Rp 2 triliun. Kemudian, jika Indonesia dan FCX menempuh arbitrase, PTFI dikhawatirkan akan berhenti melakukan penambangan bawah tanah atau block caving.

Hal itu bisa berakibat terjadinya longsor atau penutupan lorong-lorong tambang secara permanen. Jika hal itu terjadi, maka pemerintah harus mengeluarkan biaya mahal untuk pemulihan operasional tambang. Apalagi, metode block caving yang sedang dioperasikan di Grasberg saat ini adalah metode yang terumit dan tersulit di dunia.

Oleh karena itu, alasan keputusan divestasi harus dilakukan saat ini dan tidak di tahun depan tidak ada kaitan apa pun dengan urusan politik atau pencitraan. Kepastian investasi perlu dilakukan segera karena transisi dari penambangan terbuka ke penambangan bawah tanah yang saat ini dilakukan oleh PTFI membutuhkan investasi besar, yakni sekitar lima miliar dolar AS hingga 2022.

Investasi ini berpotensi terhambat 5-10 tahun apabila terjadi proses arbitrase. Selain itu, proses arbitrase juga akan mengakibatkan ketidakpastian perpanjangan izin operasi PTFI dan terganggunya rencana pembangunan smelter.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement