EKBIS.CO, JAKARTA -- Peneliti Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Indonesia (UI) Yusuf Wibisono menilai, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sudah sepatutnya memberikan kebijakan yang lebih fleksibel untuk permodalan Bank Mualamat. Termasuk, dengan tidak memberi ketentuan kepada investor untuk menunjukkan uang Rp 4 triliun dalam escrow account.
Yusuf menjelaskan, fleksibilitas bisa ditunjukkan dari segi penurunan nominal. Nilai Rp 4 triliun masih terlampau besar yang dicemaskan akan memberatkan para calon investor.
"Itu jumlahnya lumayan besar dan butuh waktu lama untuk mengumpulkan. Sedangkan, kebutuhan Bank Muamalat sudah mendesak," tuturnya saat dihubungi Republika.co.id, akhir pekan lalu.
Contoh fleksibilitas lain yang disampaikan Yusuf adalah investor tidak harus memiliki Rp 4 triliun dalam satu waktu. OJK dapat meminta investor untuk berkomitmen mendapatkan Rp 4 triliun dalam jangka waktu tertentu. Sebagai tahapan awal, OJK bisa membuat ketentuan minimal 50 persen harus terkumpul jelang investasi diresmikan.
Yusuf mengatakan, kebijakan khusus ini patut diberikan OJK mengingat kredibilitas Bank Muamalat selama ini. Aspek historis Bank Muamalat sebagai tonggak awal bank syariah di Indonesia patut dipertimbangkan oleh OJK.
Terlepas dari itu, berbagai indikator ekonomi Bank Muamalat juga memperlihatkan perkembangan positif. Capital Adequacy Ratio (CAR) masih berada dalam batasan aman, sementara Non-Performing Fincance (NPF) terbilang dapat ditekan. "Laba juga lumayan. Walau tidak besar, trennya meningkat. Ini menunjukkan kinerja Bank Muamalat positif sekalipun investornya belum ada,"ujar Yusuf.
Dengan kondisi Bank Muamalat yang sudah maju-mundur sejak beberapa tahun belakang, Yusuf berharap ‘sang penyelamat’ bisa segera ditemukan. Ia harus memiliki komitmen tinggi dalam memperbaiki Bank Muamalat dan memahami industri dengan baik. Semakin cepat suntikan modal diberikan, akan semakin baik untuk mengatasi berbagai dampak negatif yang sempat terjadi.
Berbicara dari sudut pandang tersebut, Yusuf menambahkan, OJK harus memiliki sense of belonging bahwa Bank Muamalat adalah bank milik umat Islam pertama yang syariah. Sudah sepatutnya OJK memberikan perhatian khusus dan tidak terlalu kaku dalam mengikuti Standar of Procedure (SOP) yang ada.
Pelonggaran aturan juga patut diberikan OJK bagi Bank Muamalat agar terhindar dari dampak yang lebih besar. Konsorsium investasi secara penggalangan bisa menjadi upaya yang cepat dan tepat. "Kemarin pak Ilham (Ilham Habibie) dan pak Arifin Panigoro sudah sepakat koalisi untuk permodalan, tapi masih kurang. Mungkin kalau OJK mendorong pak Tahir (Dato Sri Tahir) untuk bergabung, bisa semakin cepat penyuntikannya," ucap Yusuf.
Analis Binaartha Sekuritas Muhammad Nafan Aji Gusta Utama menilai, batasan minimal yang disampaikan OJK memiliki alasan logis. Sebab, Bank Muamalat membutuhkan dana untuk suntikan modal senilai Rp 4 triliun sampai Rp 8 triliun. Sudah ada calon investor yang dapat mewujudkan hal tersebut meski belum cukup menutupi kekurangan.
Nafan menilai, skema rights issue atau Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (HMETD) adalah skema yang tepat untuk mengantisipasi kekurangan tersebut. Skema ini memungkinkan perusahaan bisa mendapatkan pendanaan secara gratis. "Pembayaran utang juga cenderung mudah karena tidak perlu memikirkan beban bunga," tuturnya.
Saat ini, Bank Muamalat berhasil mencatatkan kenaikan laba bersih di kuartal I/2018 sebesar 35,4 persen secara year on year (yoy), yakni dari Rp 12,27 miliar menjadi Rp 16,60 miliar. Total aset perusahaan saat ini berada di posisi Rp 54,11 triliun. Nominal tersebut mengalami penurunan 12 persen dibandingkan akhir 2017 yang masih Rp 61,7 triliun.