EKBIS.CO,
Oleh Achmad Syalaby Ichsan (Wartawan Republika)
Pagi masih merambat di Tegal Waru. Hanya, dinginnya tak lagi terasa. Desa yang terletak di Kabupaten Bogor, Jawa Barat itu itu sudah dihangatkan oleh aktivitas empat belas ribu jiwa warganya. Kesibukan juga harus dilakoni oleh Tatiek Kancaniati. Sehari-hari, ibu tiga orang anak itu harus berkeliling ke enam rukun warga (RW) disana. Dia menyambangi 35 sentra usaha kecil menengah (UKM) yang tersebar di seluruh RW di Tegalwaru.
Di kampung wirausaha ini, warga menghasilkan beragam produk dari berbasis agrikultur, olahan tangan hingga kuliner. Di RW 02, terdapat pengrajin pandai besi dan pesanan golok ukir. Biasanya, banyak pemesan dari Jakarta yang membeli golok itu untuk koleksi. Lain lagi di RW 03. Dengan wilayah yang masih didominasi oleh lahan pertanian, warga memilih menggarap lahan mereka dengan tanaman obat, buah dan tanaman hias. UKM lain tidak mau kalah. Mereka memproduksi tas, susu, perikanan, keranjang cue hingga brownies.
Tatiek berkisah, beberapa pengusaha desa sudah ada di Tegalwaru sejak puluhan tahun lalu. Hanya, aktivitas ekonomi mereka rupanya belum mampu meningkatkan status sebagai desa tertinggal. Tercatat, rumah tangga miskin (RTM) di Tegal Waru hingga 2010/2011 mencapai 1005 RTM. Meski banyak pengusaha, keberadaan mereka belum berhasil untuk menurunkan tingkat kemiskinan.
Kalaupun bekerja, ujar Tatiek, mayoritas warga desa, terutama kaum perempuan, berprofesi sebagai buruh pabrik. Mereka digaji hanya berkisar Rp 400 ribu per bulan. Ibu yang menghabiskan waktu di pabrik dengan upah kecil pun membuat ketahanan keluarga terganggu. Akibatnya, ujar Tatiek, pernah ada kasus gizi buruk ditemukan di desa itu.
Tatiek rupanya tergugah dengan kondisi masyarakat desa. Dia mencoba mengumpulkan resume tentang potensi ekonomi di Tegalwaru. Lewat bahasa marketing yang mumpuni, Tatiek yang memang warga asli desa berhasil menyebarkan pesan kepada orang-orang kota lewat dunia maya tentang produk-produk Tegalwaru. Dia membuat toko online mulai lewat Multiply hingga berevolusi menjadi website sendiri.
Tatiek juga menjual produk-produk desa lewat media sosial seperti Facebook dan Instagram. Tak ketinggalan marketplace seperti Bukalapak, Tokopedia hingga Sophee ikut menjadi pasar untuk menjajakan produk Tegalwaru. Pada awalnya, dia menjelaskan, upaya mengubah cara pandang pengusaha desa tidak mudah. Kebanyakan pelaku usaha tidak mengerti penjualan online.
Perlahan, Tatiek melakukan pembinaan agar warga desa mengenal dan mampu mengoperasikan media sosial, toko online hingga marketplace untuk berjualan. Dia juga bekerjasama dengan provider telekomunikasi untuk menghidupkan jaringan internet di desa. “Kalau bisa mah semua bisa berjualan online,”ujar dia.
Alumni institut Pertanian Bogor (IPB) ini tak hanya mendorong transaksi online bagi pengusaha desa. Dia pun membentuk Kampung Wisata Bisnis Tegalwaru (KWBT) pada 2009. Sebuah wadah yang berperan untuk mengundang tamu-tamu dari kota untuk menikmati originalitas sekaligus belajar berbisnis di desa.Hasilnya tak mengecewakan. “Tamu yang berkunjung semakin banyak. Mungkin ada puluhan ribu kalau dari awal KWBT,”jelas dia saat berbincang dengan Republika belum lama ini.
Rombongan pengunjung berdatangan dari berbagai kota, khususnya Jabodetabek. Ada juga tamu yang datang dari Malaysia dan Singapura. Mereka hendak melakukan studi banding tentang keberadaan desa wisata bisnis di Indonesia. Ketika mereka datang, Tatiek mengungkapkan, KWBT akan mengurus keperluan mereka dari transportasi, makanan hingga akomodasi. “Sekarang di Tegalwaru sudah ada penginapan yang layak,”kata dia.
Mereka akan diajak berkeliling ke berbagai sentra UMKM KWBT. Setiap sentra dipasangi pelang penanda nama sehingga memudahkan para pengunjung. Ketika menyambangi KWBT, Republika menyempatkan diri untuk mampir ke sentra wayang dan tas Kirana.
Sentra wayang bertempat di rumah Mang Aris. Disana, berjejer wayang golek khas Sunda. Tokoh-tokoh pewayangan seperti Gatot Kaca, Arjuna, Bima anggun dipajang. Mang Aris sebelumnya sempat menyandang status sebagai warga termiskin di Tegalwaru. Pria 60 tahun itu harus hidup di rumah kecil berbilik bambu tanpa lampu. Istrinya satu anaknya enam.
Sehari-hari, Mang Aris membuat wayang golek untuk para dalang langganannya. Satu wayang golek dihargai Rp 350 ribu lengkap beserta pakaian dan asesorisnya. Dia pun menerima jasa reparasi wayang. Jika ada dalang yang hendak memperbaiki wayang yang rusak, datang saja ke Mang Aris. Tangan ajaibnya akan membuat wayang itu sehat seperti sediakala. “Saya memang dari kecil suka wayang,” kata dia.
Jika dihitung dengan tambahan hasil jasa reparasi wayang, pendapatan terbesar Mang Aris mencapai Rp 1 juta per bulan. Apabila order sepi, Mang Aris pun kerja serabutan menjadi tukang urut. Namun, di balik kondisinya yang serbasulit, Mang Aris punya prestasi raksasa. Karya Mang Aris ternyata sempat ikut dalam kontes ikon Olimpiade Spanyol pada 1992. “Waktu itu diikutkan sama orang Korea. Katanya sih menang,”kata dia.
Setelah ada KWBT, Mang Aris ikut menjadi salah satu mitra UKM. Tatiek menjadikan bengkel wayang sederhana Mang Aries sebagai salah satu objek tujuan KWBT. Tak hanya itu, Mang Aries kerap didaulat menjadi trainer bagi para tamu untuk membuat wayang dari rumput. Produk wayang golek Mang Aries juga dijual di dunia online. Peminatnya dari berbagai kota dan luar negeri. Hasilnya lumayan. Ekonomi Mang Aris kini mulai membaik.
Satu kilometer dari UMKM Wayang, ada sentra tas Kirana. Brand ini juga menjadi salah satu mitra UMKM KWBT. Tak seperti kebanyakan produk tas lokal di Bogor, pemilik Kirana, Iman Satria (39 tahun) enggan menggunakan merek terkenal yang sudah ada. Dia percaya diri menggunakan brand sendiri. “Kita berusaha main dengan brand tas lokal berkualitas,”ujar Iman belum lama ini.
Memiliki usaha di desa tak membuat Iman kecil hati. Iman sadar kecanggihan teknologi digital bisa membuat usahanya maju. Sejak pertama kali dirintis 2012 lalu, Iman memang hendak memfokuskan pemasaran online. Lewat media sosial hingga toko online, produk Kirana berhasil menjangkau seluruh konsumen di Tanah Air. Termasuk ke luar negeri seperti Malaysia, Singapura hingga Korea Selatan.
Dalam sebulan, Iman bisa mengirim barang hingga sepuluh ribu tas. Saat ini, omzet Iman sudah mencapai miliaran rupiah. Kirana pun bisa menggerakkan ekonomi desa. Iman mengungkapkan, karyawannya kini sudah berjumlah lebih dari seratus orang. Iman juga bekerja sama dengan KWBT demi memperbesar manfaat dan memaksimalkan penjualan. Kirana masuk dalam salah satu objek tujuan para tamu KWBT. “KWBT juga jadi salah satu distributor kita (online),”ujar Iman.
Lewat KWBT, ekonomi para pengusaha desa pun ikut melonjak. Berdasarkan penelitian salah seorang mahasiswa, Tatiek menjelaskan, omzet UKM yang menjadi jejaring KWBT naik hingga 200 persen. Pjs Kepala Desa Tegalwaru Prihatna Arif Santosa mengungkapkan, keberadaan KWBT mampu mendongkrak perekonomian warga.
Taraf hidup masyarakat pun membaik. Pada awalnya, dia berkisah jika kehidupan ekonomi warga Tegalwaru terbelakang. Mereka sulit mendapatkan akses pekerjaan. Keberadaan UMKM hanya cukup untuk mengisi kehidupan sehari-hari.
Dengan adanya kampung wisata, dia menjelaskan, produk-produk Tegal Waru mampu dipasarkan dengan baik. Warga desa kini bisa membusung dada karena status mereka bukan lagi menjadi warga desa tertinggal. Sebagai bukti, jumlah RTM di Tegal Waru jauh menurun menjadi 346 rumah tangga pada 2016.
“Dengan gerakan kegiatan wisata dan ekonomi digital membawa dampak yang baik untuk masyarakat pelaku UKM di Tegalwaru,”kata dia saat berbincang dengan Republika belum lama ini.
Kampung wisata.
Peran jasa kurir
Keajaiban milenial membuat pola konsumsi masyarakat Indonesia memang agak bergeser. Portal penyedia data statistik Statista memprediksi transaksi e-commerce untuk ritel di Indonesia sepanjang 2018 mencapai 8,6 miliar dolar AS atau lebih dari Rp 130 triliun. Pada 2022, Statista memprediksi total e-commerce ritel di Tanah Air akan mencapai 16,5 miliar dolar AS atau Rp 250 triliun.
Besarnya kue e-commerce membuat kebutuhan jasa kurir ikut meningkat. Pemilik Kirana, Iman Satria mengungkapkan, pilihannya yang memasarkan produk lewat media sosial membutuhkan peran jasa kurir. Menurut dia, jasa kurir dibutuhkan sebagai bagian dari mata rantai bisnis online. Adanya layanan ekspedisi yang menjemput barang langsung ke desa juga membuat bisnis tas Iman lebih efisien. “Jadi saya tidak harus ngorbanin tenaga lagi untuk kurir,”kata dia.
Pelaku usaha desa yang kebanyakan berjualan online membuat bisnis jasa kurir tumbuh. Menurut Tatiek, beberapa agen jasa kurir sudah masuk ke Tegalwaru. Tak pelak, jasa kurir memegang peran penting dalam menghidupkan peran ekonomi di desa. Terlebih, Tatiek sedang membangun e-commerce khusus Tegalwaru yakni toko.tegalwaru.com.
Salah satu jasa kurir yang menjadi andalan Tatiek adalah JNE. Menurut dia, JNE mudah diakses untuk pengiriman barang. Tatiek pun memilih layanan JNE OKE agar lebih ekonomis. Lewat produk ini, Tatiek bisa membuat harga tetap efisien bagi pelanggan produk UKM KWBT yang berasal dari penjuru nusantara “Kantornya dimana-mana. Harga bisa dipilih dan lebih murah,“ ujar dia.
Sebagai salah satu pemain utama jasa kurir nasional, PT Tiki Jalur Nugraha Ekakurir (JNE) melihat desa sebagai salah satu ekosistem penting dari e-commerce. Untuk Bogor, daerah dimana KWBT berada, JNE memiliki sekitar 229 titik layanan yang tersebar mulai kota sampai kabupaten. Sebanyak 70 persen titik layanan JNE Bogor yang berada di pedesaan atau kabupaten dan sisanya sebanyak 30 % berada di perkotaan.
Jangkauan titik-titik layanan JNE mencapai kabupaten, kecamatan hingga kelurahan. Titik-titik ini mempermudah masyarakat untuk melakukan transaksi pengiriman tanpa terkendala jarak. Termasuk bagi para pelaku UMKM di Tegalwaru. JNE pun memiliki 80 persen konsumen retail. Lebih dari separuh konsumen retail itu merupakan pedagang online marketplace serta pelaku e-commerce lainnya seperti Tatiek.
Presiden Direktur JNE Mohammad Feriadi mengungkapkan, pesatnya pertumbuhan e-commerce merupakan kesempatan untuk perusahaan jasa pengiriman. Lebih jauh, industri ekspedisi bisa mengangkat potensi ekonomi pedesaan keluar. “Masalahnya mereka sekarang belum terbiasa,”kata Feriadi kepada Republika, Senin (8/9).
Untuk itu, JNE memiliki program edukasi kepada para UKM di daerah lewat ‘Ngajak Online’. ‘JNE Ngajak Online’ didedikasikan untuk mengembangkan para pengusaha level UKM di daerah lewat pelatihan-pelatihan marketing digital. Lewat program ini, dia berharap produk lokal bisa dipasarkan secara luas. “Kita bantu mereka untuk mempromosikan produk yang mereka hasilkan,” tambah dia.
Feriadi menjelaskan, JNE pun memiliki produk layanan Pesona atau Pesanan Oleh-Oleh Nusantara. Bentuk barang yang dikirim lewat Pesona umumnya adalah makanan. Lewat Pesona, dia menjelaskan, JNE hendak memperluas pasar pengusaha UKM lokal agar produknya bisa dinikmati oleh semua rakyat Indonesia. Produk-produk UKM daerah pun kerap dipromosikan oleh JNE melalui media sosial dan platform pesonanusantara.co.id. “Dulu cuma dinikmati di tempat makanan diproduksi,”tambah dia.
JNE juga berkolaborasi dengan banyak marketplace di dunia maya. JNE berupaya menjadi kaki yang lincah dan cepat sehingga barang yang dikirim bisa sampai sesuai waktunya. Tak hanya itu, Feri yang juga merupakan ketua umum Asosiasi Perusahaan Jasa Pengiriman Ekspress, Pos dan Logistik Indonesia (Asperindo) mengungkapkan, Asperindo sedang berupaya untuk membuat platform sendiri.
Platform ini akan diisi oleh semua anggota Asperindo. Platform pun dapat menghubungkan penjual dan pembeli dari daerah yang berbeda. Meski platformnya ada di Jakarta, produk Aceh bisa dibeli oleh warga Papua.
Head of Marketing Communication Division JNE Mayland Hendar Prasetyo menjelaskan, sampai dengan saat ini, rata–rata jumlah pengiriman JNE dalam 1 bulan mencapai sekitar 19 juta paket. Artinya, lebih dari 600 ribu paket dikirim setiap hari lewat JNE.
Meski demikian, jumlah pengiriman yang masuk ke dalam suatu wilayah (inbound) masih lebih banyak (60 persen-80 persen) ketimbang pengiriman yang keluar dari suatu wilayah (outbound) (20 persen-40 persen). Persentase ini pun dinilai menjadi acuan bahwa kontribusi pengiriman pedesaan lebih kecil.
Menurut dia, hal ini membuktikan bahwa berbagai daerah masih cenderung lebih konsumtif dibanding produktif. Karena itu, Mayland memberi catatan jika potensi UKM atau IKM produsen produk khas masih perlu didukung untuk dapat mengembangkan bisnis serta memperluas pangsa pasar mereka.
Kendala lainnya, Mayland menjelaskan, JNE menghadapi wilayah geografis Indonesia yang notabene negara kepulauan. Menurut dia, butuh strategi–strategi khusus untuk dapat mendistribusikan paket pelanggan hingga ke pelosok.
Menurut dia, JNE mengapresiasi langkah–langkah pemerintah yang terus mengembangkan wilayah cakupan jaringan IT. Dengan demikian, JNE pun dapat mengoneksikan seluruh jaringannya secara online demi memberikan kualitas pelayanan prima kepada pelanggan.“JNE bersyukur karena sampai dengan saat ini telah mampu menjangkau ke alamat mana pun di seluruh nusantara.”
Kampung Wisata Tegal Waru.
Peluang desa 4.0
Sekretaris Jenderal Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes dan PDTT) Anwar Sanusi menjelaskan, potensi desa begitu berlimpah dan beragam. Dalam penelitian Kemendes dan PDTT, hampir seratus ribu desa memiliki mempunyai potensi pertanian, perikanan, perkebunan, peternakan, hingga wisata. Para pelaku UMKM di desa-desa tersebut menghasilkan 1,8 juta komoditas.
Anwar menjelaskan, desa sekarang ini tidak lagi sekadar menawarkan bahan baku dan bahan mentah. Desa sudah bisa membuat barang jadi. Para pengusaha desa pun sudah bisa mengemas produk-produk khas daerahnya dengan kualitas kota. “Ambil contoh kopi. Kemasan produknya sekarang sudah tidak kalah dengan merek-merek luar setelah kita lakukan pendampingan,”kata Anwar saat berbincang dengan Republika belum lama ini.
Tak heran, dari 2015 hingga 2017, pendapatan per kapita warga desa meningkat hingga 10, 92 persen. Badan Pusat Statistik (BPS) pada Juli lalu merilis penurunan kemiskinan di Indonesia ternyata lebih banyak disumbang warga desa. Pada September 2017-Maret 2018, jumlah kemiskinan di desa turun sebanyak 505 ribu jiwa sedangkan di perkotaan turun sebesar 128,2 ribu jiwa. Meski demikian, Anwar menjelaskan, jumlah warga miskin desa (15,81 juta jiwa) masih lebih besar ketimbang warga miskin kota (10,14 juta jiwa).
Untuk menekan kembali tingkat kemiskinan, Anwar mengungkapkan, kegiatan ekonomi harus bergeliat di desa. Karena itu, pemerintah mendesain agar desa bisa memanfaatkan lingkungan ekonomi digital yang sedang berkembang. Dia mengungkapkan, internet harus sudah menjadi faktor yang bisa memberdayakan aktivitas ekonomi masyarakat desa.
Masyarakat desa sudah mulai melek internet. Mengutip data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, Anwar mengungkapkan, hampir 50 persen masyarakat desa dari daerah urban-rural (pendapatan berasal dari sektor pertanian dan non pertanian) dan wilayah rural (pendapatan sektor pertanian) bisa mengakses internet. Pada umumnya, mereka mengakses dunia maya lewat smartphone. Meski demikian, Anwar mengakui jumlahnya masih kalah ketimbang masyarakat urban dengan persentase 72,41 persen.
Permasalahan lainnya, ujar dia, masyarakat Indonesia belum menggunakan internet untuk kegiatan produktif. Mayoritas warga memakai internet untuk media sosial dan chatting. Untuk transaksi perdagangan, pemanfaatan internet masih minim. Transaksi penjualan online hanya mencapai 8,12 persen. Sebaliknya pembelian justru bisa tiga kali lipat dari penjualan.
Untuk mewujudkan desa 4.0 yang mengandakan ekonomi digital, Kemendes PTT pun menyediakan para pendamping. Mereka akan membimbing desa agar mampu memaksimalkan manfaat internet. Pemerintah juga bekerjasama dengan marketplace-marketplace ternama. Kerjasama ini dinilai Anwar saling menguntungkan.
Penyedia e-commerce tersebut akan mendapatkan data lengkap tentang potensi-potensi desa. Sementara itu, pelaku usaha desa bisa mendapat pasar yang potensial. “Para vendor ini mengambil kemudian memasarkan. Mereka meningkatkan harga petani dan menurunkan harga di konsumen,” jelas dia.
Anwar menjelaskan, visi desa 4.0 hanya bisa dicapai dengan layanan jasa kurir yang baik. Dia beralasan, prinsip dasar ekonomi digital adalah mendekatkan komoditas. Karena itu, dia menilai, peran jasa kurir amat penting dalam mengisi rantai ekonomi tersebut.
Dia mencontohkan, petani Jepang dan Korea Selatan sudah melek IT. Mereka sudah memiliki website masing-masing untuk memasarkan produk yang dimiliki. Para petani ini pun sudah mampu melakukan packing yang baik. Setelah itu, jasa ekspedisi akan mengirim produk-produk hasil tani ke para konsumen. “Saya pikir, kalau mau usaha ke depan itu ya jasa kurir,” jelas dia.