REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Sapto Andika Candra, Dessy Suciati Saputri
Presiden Joko Widodo menyoroti hubungan di antara negara-negara ekonomi maju yang belakangan ini kian mengalami keretakan. Ia meminta negara-negara dunia membalik tren itu dan mengutamakan kerja sama.
“Lemahnya kerja sama dan koordinasi telah menyebabkan terjadinya banyak masalah, seperti peningkatan drastis harga minyak mentah dan kekacauan di pasar mata uang yang dialami negara-negara berkembang,” kata Presiden Jokowi saat memberikan sambutan pada pembukaan Annual Meetings IMF-World Bank Group di Nusa Dua, Bali, Jumat (12/10).
Melanjutkan tren pidato internasionalnya, Presiden Jokowi kembali menggunakan istilah-istilah dari budaya populer untuk menyoroti permasalahan dunia. Kali ini, ia menggunakan permisalan dari serial televisi fantasi Amerika Serikat untuk menggambarkan bahwa kerajaan-kerajaan perlu bersatu melawan kekuatan jahat yang lebih besar.
Jokowi juga mengutip perkataan Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Christine Lagarde yang menyebut bahwa perekonomian dunia saat ini dibayangi ketidakpastian. Di satu sisi, Amerika Serikat menikmati pertumbuhan yang pesat. Namun, di sisi lain, pertumbuhan ekonomi di banyak negara justru lemah dan tidak stabil.
Perang dagang yang terjadi, kata Presiden Jokowi, semakin marak, sementara inovasi teknologi membuat banyak negara terguncang. Artinya, negara yang mengalami pertumbuhan tetap mengemban tekanan pasar yang cukup besar.
“Dengan banyaknya masalah perekonomian dunia, sudah cukup bagi kita untuk mengatakan bahwa winter is coming," ujar Jokowi mengutip adagium terkenal dari serial tersebut.
Jokowi menutup pidatonya dengan sebuah pertanyaan bagi para pejabat penting perwakilan dari 189 negara yang hadir. "Apakah sekarang merupakan saat yang tepat untuk kompetisi ataukah justru menjadi waktu yang tepat untuk kolaborasi?" kata Jokowi.
Jokowi menegaskan, ada ancaman yang lebih besar yang bisa saja menyerang negara manapun, negara kaya atau miskin. Ancaman tersebut tak hanya melulu soal ekonomi, tapi juga soal lingkungan, seperti perubahan iklim yang mau tak mau dihadapi bersama, tak memandang latar negara. Jokowi mengambil contoh, badai-badai besar yang semakin intens menyerang AS hingga Filipina.
Christine Lagarde dalam kesempatan yang sama juga mengingatkan negara-negara yang hadir dalam Pertemuan Tahunan IMF-World Bank di Nusa Dua Bali terkait tantangan ekonomi yang sedang mengadang. Bos IMF tersebut menyebutnya dengan istilah 'multilateralisme baru', yang arahnya lebih berorientasi pada masyarakat dunia.
Tantangan pertama yang ia sebut menyangkut stabilitas makroekonomi, dengan bahan bakarnya, yakni sektor perdagangan. Menurut dia, sepanjang 70 tahun terakhir, sektor perdagangan telah mendorong pertumbuhan dan kesejahteraan bagi seluruh negara di dunia.
Namun, kondisinya kini justru berbalik. Ia menyadari, terlalu banyak orang yang tidak ikut menikmati manfaat dari praktik perdagangan antarnegara ini. "Kami tidak memperkirakan eskalasi ketegangan perdagangan saat ini mampu menurunkan PDB (produk domestik bruto) global sebanyak satu persen selama dua tahun ke depan," ujar Lagarde dalam pidatonya saat Plenary Meeting, Jumat (12/10).
Pernyataan Lagarde seolah menyentil ketegangan perdagangan yang saat ini terjadi antara Amerika Serikat dan Cina. Perang dagang keduanya berimbas pada kebijakan ekonomi negara-negara lain di dunia, terutama negara berkembang.
Lagarde juga menyampaikan, negara-negara di dunia perlu bersatu untuk mengeskalasi sengketa yang ada. Perdagangan global, katanya, harus bertujuan untuk menyejahterakan masyarakat dunia. Artinya, sistem perdagangan harus diperbaiki, bukan malah merusaknya.
Tantangan selanjutnya adalah risiko dan kerentanan terhadap utang yang terus meningkat. Mengutip data IMF, utang pemerintah dan swasta secara global menyentuh 182 triliun dolar AS, setara 224 persen PDB dunia. Angka ini juga tercatat 60 persen lebih tinggi dari capaian pada 2007.
"Saat kondisi keuangan makin ketat, angin dapat berputar terutama untuk emerging market, mendorong adanya arus balik modal," katanya.
Lagarde mendorong setiap negara mulai memikirkan adanya kebijakan domestik yang dilengkapi jaring pengaman keuangan global dan regional. (ed: fitriyan zamzami)