EKBIS.CO, JAKARTA -- Kementerian Pertanian (Kementan) mewaspadai penyakit African Swine Fever (ASF). Dalam beberapa bulan terakhir wabah penyakit hewan yang dapat menyerang babi peliharaan maupun babi liar dilaporkan terjadi di beberapa negara di dunia.
Direktur Kesehatan Hewan Kementan Fadjar Sumping Tjatur Rasa mengatakan, wabah ini terjadi di Cina yang merupakan negara dengan populasi babi terbesar di dunia yaitu lebih dari 400 juta ekor. Tercatat, sejak pertama kali mengumumkan penyakit ini pada awal Agustus 2018 sudah 13 provinsi di Cina tertular ASF.
Puluhan ribu ekor babi harus dimusnahkan untuk menghindari penyebaran penyakit lebih lanjut. "Wabah di Cina merupakan wabah ASF pertama di benua Asia," katanya melalui keterangan tertulis, Rabu (31/10).
Belajar dari pola penyebaran penyakit babi sebelumnya, setelah terdeteksi di Cina, maka dalam beberapa tahun penyakit tersebut telah terdeteksi di negara-negara di kawasan Asia Tenggara mengikuti pola lalu lintas babi dan produknya.
Guna meningkatkan kewaspadaan masyarakat khususnya pemangku kepentingan terkait babi, pola pandang perlu disamakan terkait ancaman dan langkah-langkah strategis yang harus dilakukan untuk mencegah masuk dan kemungkinan menyebarnya penyakit hewan ASF.
Pemerintah telah menetapkan kebijakan ketat terhadap importasi babi hidup dan produk-produk daging babi, terutama dari negara-negara yang tertular ASF. Fadjar berpesan kepada pemangku kepentingan terkait untuk memastikan disposal yang tepat dari sisa-sisa makanan yang berasal dari pesawat udara, kapal laut atau kendaraan yang datang dari negara-negara tertular ASF, serta memastikan bahwa babi tidak diberi makan sisa-sisa dapur atau sampah sebelum dimasak pada temperatur tertentu.
Khusus untuk peternak, ia meminta agar peternakan tidak memberikan sisa-sisa dapur atau sampah (SWILL) yang mengandung daging babi atau produk daging babi yang kurang dimasak atau tidak dimasak kepada babi dan jangan membiarkan babi-babi untuk dapat mengakses sisa-sisa dapur atau sampah. Ia pun meminta peternak segera melaporkan apabila ada dugaan ASF di peternakan agar pemerintah bisa segera mengambil langkah-langkah cepat menanggulanginya.
"Apabila langkah-langkah penting tersebut kita bisa jalankan dengan benar, dan system surveilans bisa dilaksanakan dengan tepat, maka saya optimis bahwa populasi babi di Indonesia yang berjumlah delapan juta ekor lebih dapat kita lindungi dari ancaman ASF," ujarnya.
National Technical Adviser dari FAO ECTAD Indonesia Andri Jati Kusuma menambahkan, alasan kenapa Indonesia perlu mewaspadai ancaman penyakit hewan ASF adalah lantaran belum ditemukannya vaksin yang bisa digunakan untuk mencegah ASF dan tidak ada pengobatan apabila sudah terjadi kasus. Satu-satunya cara untuk mencegah penyebaran dan mengendalikan kasus apabila sudah terjadi adalah dengan cara memusnahkan babi-babi tersebut.
Walaupun beberapa negara Eropa berhasil memberantas penyakit ini, namun sampai akhir Oktober 2018, sebaran penyakit ASF masih cukup banyak di dunia.
Ketua Komisi Ahli Kesehatan Hewan Indonesia Tri Satya Putri Naipospos mengatakan, berdasarkan kajian analisa risiko, Indonesia harus mewaspadai kemungkinan masuknya ASF melalui pemasukan daging babi dan produk babi lainnya, sisa-sisa katering transportansi internasional baik laut dan udara. Termasuk orang yang terkontaminasi virus ASF dan kemudian kontak dengan babi di Indonesia.
Sementara itu Pengurus Asosiasi Dokter Hewan Monogastrik Indonesia (ADHMI) sekaligus guru besar dari Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Universitas Udayana Ida Bagus Ardana menambahkan, diperlukan kemampuan untuk deteksi dini penyakit agar penyakit ASF segera tertangani dan tidak sampai menimbulkan kerugian ekonomi yang besar. Biosekuriti merupakan strategi utama mencegah terjadinya ASF di peternakan-peternakan babi di Indonesia.
Senada dengan hal itu, Widya Asmara yang merupakan pakar penyakit hewan dan guru besar FKH Universitas Gajah Mada menjelaskan adanya tanda-tanda klinis penyakit ASF untuk memudahkan pengenalan penyakit bagi peternak dan petugas kesehatan hewan, sehingga langkah cepat penanggulangan dapat dilakukan.
"Deteksi cepat, pelaporan cepat, dan respon cepat diperlukan untuk bisa mencegah penyebaran penyakit," kata dia.