EKBIS.CO, JAKARTA -- Kementerian Pertanian (Kementan) terus berupaya memenuhi kebutuhan jagung dari produksi dalam negeri tanpa impor. Namun, upaya ini terganjal biaya transportasi
Pada 2018 Kementan mengalokasikan bantuan benih jagung seluas 2,8 juta hektare yang tersebar 33 provinsi, untuk meningkatkan produksi. Sekretaris Jendral Kementan Syukur Irwantoro mengatakan pihaknya juga telah menganggarkan pembangunan pengeringan jagung (dryer) sebanyak 1.000 unit untuk petani.
“Upaya-upaya lain terus kami mendorong kementerian terkait dan pemerintah daerah memperbaiki rantai pasok pemasaran jagung dan membantu resi gudang di daerah agar berfungsi optimal, sehingga petani tetap terpaku pada sistem konvesional pasok jagung,” ujarnya saat konferensi pers di Gedung Kementan, Sabtu (3/11).
Menurutnya, selama ini Kementan juga telah mendorong pemprov membangun buffer storage, yakni menyerap surplus produksi pada waktu puncak panen, dan menyimpannya untuk dilepas kembali pada waktu produksi turun.
Namun kondisi tersebut tidak sejalan dengan biaya transportasi. Berdasarkan catatan Kementan, terdapat perbedaan biaya transportasi tujuan penjualan pasar domestik dan pasar ekspor.
Biaya transportasi dari Tanjung Priok ke Tanjung Pandan lebih mahal dari Priok ke Pelabuhan Port Klang Singapura. Dari Tanjung Priok ke Pelabuhan Tanjung (Belitung) perjalanan tiket untuk mobil angkut 14 ton sebesar Rp 33 juta, belum termasuk biaya solar mobil dan biaya lainnya. "Sementara itu, dari Priok ke Klang Singapura untuk 24-27 ton biayanya sebesar 1.750 dolar AS atau sekitar Rp 26 juta, sudah termasuk dengan pengurusan semua dokumen,” ungkapnya.
Padahal, menurutnya, Kementan telah memastikan produksi jagung nasional pada tahun ini mengalami surplus, bahkan telah melakukan ekspor sebanyak 380ribu ton. “Sejak diberhentikan importasi jagung untuk pakan tahun lalu sebesar 3,5 juta ton, pemerintah telah menghemat devisa sekitar Rp 10 triliun,” ucapnya.
Baca juga, Pemerintah Putuskan Impor Jagung 100 Ribu Ton