EKBIS.CO, JAKARTA -- Pandangan yang menyayangkan dikaitkannya keputusan impor 100 ribu ton jagung pakan dengan kecukupan produksi dalam negeri, bukan hanya datang dari kalangan petani. Dekan Fakultas Pertanian Univeritas Islam Riau, Ujang Paman Ismail menyayangkan kebijakan impor jagung dalam rapat koordinasi yang dipimpin Menko Perekonomian Darmin Nasution.
"Sejatinya dalam definisi kedaulatan pangan di negara manapun, swasembada dan impor merupakan dua hal yang tidak bisa disandingkan atau di pertentangkan. Karena Swasembada lebih memiliki orientasi kecukupan produksi dalam negeri, sementara impor bisa lebih banyak terkait pada upaya untuk stabilisasi harga melalui distribusi antar wilayah atau bahkan lintas negara,” kata Ujang.
Menurut Ujang, di beberapa negara tetangga seperti Jepang dan Thailand telah mendeklarasikan sudah swasembada pangan secara nasional. Dua negara itu bahkan telah surplus beberapa komoditas pertanian. Namun di lain waktu dan pada beberapa lokasi kedua negara itu melakukan kegiatan importasi yang ditujukan untuk stabilisasi harga di suatu wilayah.
"Politisasi impor yang sangat kecil tersebut sangat lucu dan dangkal dalam memahami persoalan yang ada. Bagaimanapun juga, pemerintah kita telah mampu meminimalkan impor melalui keputusan berani dari Menteri Pertanian yang menyatakan stop impor Jagung untuk kebutuhan Pakan ternak sejak 2015,” ujarnya.
Ujang mengatakan, persoalan fluktuasi harga jagung belakangan ini bukan masalah produksi. Ia mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyimpulkan produksi dan pasokan jagung 2018 sudah surplus sebesar 12 juta ton PK. Selama tiga tahun, Indonesia sudah menstop impor jagung yang biasanya 3,5 juta ton pertahun. Bahkan untuk tahun ini, sampai bulan Oktober Indonesia sudah mengekspor 370 ribu ton jagung ke negara tetangga.
"Kenapa pada saat harga tinggi banyak yang komplain masalah produksi. Padahal jelas-jelas data menunjukkan produksi kita surplus. Harus digarisbawahi persoalan konektivitas sentra produksi ke pengguna jagung yang memusat di beberapa provinsi saja merupakan masalah utama,” tuturnya.
Akademisi yang juga Ketua Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia ini juga khawatir, polemik terkait impor yang volumenya kecil ini akan mempengaruhi psikologi pasar dan menjadi pukulan telak bagi jutaan petani jagung kita. Terlebih sejak 2015, petani menikmati keuntungan yang sangat layak dari usahatani jagung dan terbukti keringat mereka sudah mencukupi kebutuhan pakan ternak dalam tiga tahun terakhir.
Apalagi keputusan dan polemik impor ini dilakukan di akhir tahun yang merupakan musim panen raya jagung di banyak wilayah sentra produksi seperti NTB, Jawa Timur, Sulawesi dan sebagian Sumatra.
"Hal ini tentunya akan menurunkan semangat petani yang sekarang mengandalkan usahatani jagung. Kalau impor masuk saat panen, pasar akan menangkap signal stok berlebih dari impor dan pasokan jagung petani akan dihargai rendah,” kata Ujang khawatir.
Ketua Asosiasi Petani Jagung Indonesia (APJI), Sholahuddin mengamini kekhawatiran Ujang. Ia memperkirakan impor jagung baru akan terealisasi di bulan Januari. Momen itu bertabrakan dengan musim panen raya.
"Kalau impor masuk saat panen, petani sudah bisa membayangkan harga jagung mereka akan anjlok,” katanya.
Dalam hitungan Sholahuddin pertanaman jagung Bulan September mencapai 5,86 juta hektar tersebar di wilayah Indonesia, dan sampai Bulan Oktober produksi jagung diperkirakan mencapai 25,97 juta ton.
"Insya Allah dengan semangat petani untuk menanam, target 30,05 juta ton jagung di 2018 bisa tercapai. Semangat petani itu yang perlu kita jaga,” paparnya.
Sebelumnya Direktur Eksekutif Petani Centre Entang Sastraatmaja menilai, isu impor sengaja dibesar-besarkan kalangan elit yang memiliki kepentingan.
"Impor ini menurut saya lebih banyak digaungkan di kalangan elit. Orang yang punya kepentingan-kepentingan sesaat begitu. Mereka menggoreng isu impor ini menjadi sesuatu yang penting,” tutur Entang.