EKBIS.CO, JAKARTA -- Porsi industri manufaktur dalam perekonomian Indonesia terus mengalami penurunan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) porsi manufaktur dalam PDB kuartal III 2018 adalah sebesar 19,66 persen. Angka itu turun dibandingkan porsi manufaktur dalam PDB kuartal II 2018 yang sebesar 19,8 persen dan PDB kuartal III 2017 yang sebesar 19,93 persen.
"Tapi perlu juga dicermati sekarang pertumbuhan industri nonmigas mencapai 5,01 persen (yoy). Kita perlu mempertahankan yang sudah bagus," kata Kepala BPS Suhariyanto di Jakarta, Senin (5/11).
Pertumbuhan industri manufaktur nonmigas lebih baik dibandingkan pertumbuhan pada kuartal II-2018 yang sebesar 4,27 persen (yoy). Namun, itu masih lebih rendah dibandingkan pertumbuhan pada kuartal III 2017 yang sebesar 5,46 persen.
Dia mengatakan, industri makanan dan minuman pada kuartal III-2018 memiliki pertumbuhan relatif kuat yakni 8,1 persen (yoy). Namun, menurut Kecuk, sektor tersebut bisa tumbuh lebih tinggi karena pada kuartal III 2017 bisa tumbuh 8,92 persen.
"Kalau industri makanan dan minuman naik dua digit itu akan menciptakan tenaga kerja, lalu porsi manufaktur dalam ekonomi juga naik. Jadi sekarang bagaimana menggerakan industri dan mengidentifikasi yang memiliki potensi," kata Suhariyanto.
Dia mengatakan, Kementerian Perindustrian sudah memiliki peta jalan pengembangan industri generasi keempat atau Industri 4.0. "Harapannya hal itu bisa jadi acuan dan tidak terputus dalam satu periode saja," kata Suhariyanto.
Ekonom dari Asian Development Bank Institute (ADBI) Eric Sugandi mengatakan, penurunan porsi industri manufaktur pada PDB Indonesia sudah terjadi sejak awal dasawarsa 2000-an. Dia mengatakan, deindustrialiasi tersebut akibat produk manufaktur Indonesia kalah bersaing dengan produk negara lain terutama Cina. Hal itu terjadi baik di pasar domestik maupun di pasar internasional.
"Produk-produk Cina sangat kompetitif dari sisi harga karena perusahaan-perusahaan di sana menikmati “economies of scale” dan di awal ekspansi global mereka juga ditopang upah buruh yang murah," kata Eric ketika dihubungi Republika.co.id, Senin (5/11).
Deindustrialisasi lantas menyebabkan Indonesia bergantung para produk impor terutama untuk produk-produk yang produsen lokalnya kalah bersaing dengan asing. Selain bisa menurunkan jumlah produsen, kata Eric, deindustrialisasi juga bisa memperbesar defisit neraca dagang dan defisit transaksi berjalan.
Menurut Eric, saat ini pemerintah sudah memiliki berbagai paket kebijakan dan peta jalan pengembangan industri. Akan tetapi, kata Eric, hal itu membutuhkan implementasi yang lebih optimal di lapangan.
"Misalnya sudah ada banyak kerja sama antara industri dan perguruan tinggi dan kementerian terkait, tapi belum optimal waktu implementasinya," kata Eric.
Baca juga, BPS: Asian Games Berdampak pada Pertumbuhan Ekonomi DKI