EKBIS.CO, JAKARTA – Direktur Pusat Kajian Pertanian dan Advokasi (Pataka) Yeka Hendra Fatika mengatakan, keputusan importasi jagung yang dilakukan oleh Kementerian Koordinator Perekonomian sudah merupakan langkah tepat. Hanya saja, kebijakan ini dinilai terlambat mengingat masa panen akan datang dalam waktu dekat.
Berdasarkan pengalaman selama ini, impor membutuhkan waktu normal antara dua hingga tiga bulan. Apabila baru diteken November, Yeka memprediksi, jagung impor baru datang pada akhir Januari atau awal Februari. “Kalau nanti hasil produksi kita cukup, impor justru akan mubazir,” ujarnya dalam acara diskusi bertema Darurat Jagung di Jakarta, Rabu (8/11).
Di samping itu, Yeka juga mempertanyakan pernyataan Kementerian Pertanian yang memproduksi isu surplus jagung hingga 12,92 juta ton akibat adanya luas panen jagung sekitar 5,3 juta hektare. Satu hektare lahan biasa membutuhkan benih jagung rata-rata sebesar 20 kilogram, sehingga pada 2018 membutuhkan 106 ribu ton benih. Sementara itu, kapasitas produksi benih nasional tidak pernah melebihi 60 ribu ton.
Pernyataan surplus juga harus dikaitkan dengan keluhan harga jagung dalam negeri. Ketika masih ada impor jagung, misalnya 3,2 juta ton pada 2015, sering ada keluhan bahwa harga jagung dalam negeri anjlok. "Apabila surplus sampai 10 juta ton saja, tidak terbayang bagaimana keluhan petani jagung. Mereka bisa tidak mau menanam jagung lagi di musim berikutnya karena harga jagung yang jatuh tidak karuan," tuturnya.
Yeka menjelaskan, apabila ada surplus jagung, pemerintah juga tidak perlu mengadakan impor gandum untuk pakan. Tapi, berdasarkan data Grain Report United States Department Agriculture, pemerintah justru membuka impor gandum untuk pakan 3,1 juta ton pada periode 2018. Angka ini meningkat dibanding tahun 2017, yakni 2,8 juta ton dan 1,8 juta ton pada 2016.
Seperti kasus beras, kondisi tersebut menyulitkan pemerintah mengambil kebijakan. Bukannya mendapat keuntungan dari keputusan menutup impor jagung yang dilakukan sejak 2016, justru mendatangkan kerugian. Sebab, harga gandum impor saat ini sekitar Rp 4.800 per kilogram, sedangkan jagung impor hanya Rp 3.600 per kilogram.
Selain dari sisi ekonomis, industri juga mengalami kerugian ketika impor gandum untuk pakan. Dibanding dengan menggunakan jagung sebagai pakan, ternak yang mengonsumsi gandum cenderung memiliki tingkat produktivitas yang lebih rendah.
"Jadi, importasi gandum untuk pakan jelas keliru karena sudah ada produk pakan lain yang lebih baik dan murah, yakni jagung," ucap Yeka.
Sementara itu, Presiden Forum Peternak Layer Nasional Ki Musbar Mesdi menuturkan, harga jagung di tingkat peternak saat ini sudah menyentuh Rp 5.800 sampai Rp 6.000 per kilogram. Nominal ini melebihi harga acuan penjualan konsumen untuk jagung sebesar Rp 4.000 per kilogram berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 58 Tahun 2018.
Musbar berharap, kedatangan jagung impor dengan kuota 100 ribu ton dapat dituntaskan dalam waktu cepat. Setidaknya, pada pekan pertama Desember, peternak ayam layer dapat memanfaatkan jagung impor sudah bisa masuk dan bisa digunakan oleh peternak ayam layer untuk membantu kestabilan harga di pasaran.
Apabila impor jagung baru terealisasi pada awal 2018, Musbar khawatir akan mubazir seperti yang sempat terjadi pada tahun lalu. Waktu itu, jagung yang di impor Bulog hingga 200.000 ton tidak semuanya dapat terbeli oleh peternak ayam mandiri karena masuknya bersamaan dengan panen raya. "Harga jagung di petani saat itu lebih murah dibanding jagung impor, jadi peternak memilih jagung di petani lokal," ujarnya.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Kementerian Pertanian I Ketut Diarmita mengonfirmasi, rakortas telah memberikan rekomendasi impor jagung sebesar 50 hingga 100 ribu ton. Importasi tersebut akan dilakukan secepatnya hingga batas akhir tahun. Kebijakan tersebut guna menurunkan harga jual jagung yang digunakan sebagai bahan pakan ternak.