EKBIS.CO, JAKARTA -- Kementerian Pertanian (Kementan) melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) menargetkan daerah bebas rabies terus bertambah. Selama 3,5 tahun, Kementan berhasil membebaskan 12 pulau dari penyakit rabies, meliputi Kepulauan Riau (2015), Pulau Mentawai, Sumbar (2015), Pulau Enggano, Bengkulu (2015), Pulau Meranti, Riau (2015), Pulau Weh (2016), Pulau Pisang, Lampung (2016), Bangka Belitung (2017), NTB (2017), Pulau Tabuhan, Lampung (2018), Pulau Tarakan (2018), Pulau Nunukan (2018) dan Pulau Sebatik Provinsi Kaltara (2018).
Dirjen PKH I Ketut Diarmita mengatakan, daerah-daerah tersebut berhasil menyusul beberapa wilayah yang sudah bebas Rabies sebelumnya, yaitu: Jawa Timur (1997), Jawa Tengah (1997), DI Yogyakarta (1997) dan DKI Jakarta (2004). Untuk memperluas daerah pembebasan rabies, Kementan menyiapkan langkah mencegah penyebaran virus rabies. Salah satunya adalah dengan memberikan 1,5 juta dosis vaksin antirabies.
“Kami mengadakan 1,5 juta dosis vaksin antirabies dengan nilai sebesar Rp 35 miliar. Itu kita prioritasan untuk provinsi yang tertular rabies. Sedangkan daerah yang sudah dinyatakan bebas rabies tetap harus menguatkan imunitasnya pada Hewan beresiko agar kalau terjadi infeksi dari luar bisa kebal karena sudah mempunyai imunitas,” kata I Ketut, Jumat (9/11).
Menurut I Ketut, wilayah yang dinyatakan bebas rabies memiliki sejumlah keunggulan. Pertama, status kesehatan wilayah akan meningkat karena tidak ada angka kematian akibat penyakit tersebut. Kedua, peningkatan status kekebalan anjing dan populasi anjing dalam suatu wilayah dipastikan terkendali.
Ketiga, penghematan anggaran untuk pengendalian rabies pada hewan dan pembelian vaksin antirabies (VAR) bagi manusia. Keempat, status wilayah menjadi aman dan bebas rabies sehingga perdagangan, investasi, dan sektor pariwisata akan lebih maju. Tentunya hal ini berdampak positif pada peningkatan ekonomi wilayah.
I Ketut mendorong pemerintah daerah untuk aktif mencegah rabies, sehingga hewan-hewan yang berpotensi menjadi sumber penyakit tersebut dikendalikan. Dengan demikian, masyarakat juga semakin terdorong untuk berkomunikasi dengan aparat setempat untuk menindak mereka yang terkena penyakit ini, sehingga penyebarannya dapat dicegah.
Ia juga mengimbau agar daerah perbatasan atau wilayah pintu masuk baik pelabuhan maupun bandara meningkatkan kewaspadaan. “Aparat di sana harus bersinergi dengan petugas bandara dan maskapai untuk mendeteksi dan memberi pelayanan kepada warga yang mengidap virus tersebut,” ujar I Ketut.
Kementan Kaji Papua Bebas Rabies
Menurut I Ketut, Kementan bersama Tim Komisi Ahli Keswan saat ini sedang mengkaji upaya Pemerintah Provinsi Papua dalam melakukan pencegahan penyakit rabies. Untuk menentukan suatu daerah dinyatakan bebas penyakit rabies harus didasarkan kajian dan analisis Komisi Ahli Kesehatan Hewan dan kesehatan masyarakat veteriner.
“Tim ini yang akan menentukan dan menilai langkah-langkah teknis dinas peternakan dan Kesehatan Propinsi, Balai Veteriner dan balai karantina pertanian dalam pencegahan dan penanganan rabies,” kata I Ketut.
Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Propinsi Papua Ir Petrus Masereng mengatakan, berdasarkan catatan, tidak ada kasus rabies yang dilaporkan saat ini. Menurutnya, Pemerintah Daerah aktif merencanakan langkah antisipasi penyakit tersebut, diantaranya dengan pengawasan lalu lintas Hewan Pembawa Rabies (HPR) di pintu masuk wilayah baik pelabuhan dan bandara bekerja sama dengan Balai Karantina Pertanian. Hal ini diperkuat dengan adanya Perda No. 4 Tahun 2006 tentang Larangan Masuknya Hewan Penular Rabies ke Wilayah Propisi Papua.
Antisipasi juga dilakukan dengan surveilans dilakukan oleh Balai Besar Veteriner (BBVET) Maros Sulawesi Selatan secara terencana dan periodik di wilayah risiko tinggi rabies. Selain itu dengan cara vaksinasi dilakukan di daerah berisiko tinggi untuk meningkatkan kekebalan baik pada anjing maupun kucing. Terakhir, melakukan manajemen populasi pada HPR, serta melaksanakan komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE), kepada masyarakat serta advokasi kepada unsur musyawarah pimpinan daerah (Muspida) baik kabupaten/kota.
“Masyarakat berperan aktif. Mereka mampu mengendalikan dan mengawasi pergerakan hewan-hewan HPR seperti anjing dan lainnya. Kami pasti akan selalu berkomunikasi dengan mereka dan mengambil langkah-langkah pencegahan,” tuturnya.