EKBIS.CO, JAKARTA -- Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Manusia, Iptek, dan Budaya Maritim Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Safri Burhanuddin, mengatakan, penerapan cukai plastik akan mampu mengontrol produksi plastik. Hal ini sudah terbukti efektif saat berlaku pada rokok.
Safri mengatakan, rencana penerapan cukai plastik masih terus didiskusikan di antar kementerian. Dalam pembahasan itu, cukai yang biasanya dibayar pada akhir masa produksi, akan diaplikasikan pada tahapan awal. "Tapi, angkanya belum keluar. Ini masih dalam pembahasan," ujarnya ketika ditemui dalam acara diskusi Big Ideas Speaker Series: Sampah Plastik Laut di Jakarta, Selasa (27/11).
Penerapan cukai plastik mungkin tidak akan berdampak signifikan terhadap pengurangan jumlah konsumen plastik. Sebab, berkaca dari cukai rokok, semakin tinggi nilainya, belum mampu mengurangi jumlah perokok.
Akan tetapi, Safri menambahkan, penerapan cukai plastik merupakan salah satu solusi untuk mengontrol tingkat produksi plastik. Di samping itu, cukai juga untuk menjaga kualitas plastik yang selama ini belum diperhatikan oleh industri.
"Untuk poin terakhir, Kemenperin (Kementerian Perindustrian) menjadi pihak yang paling terlibat sebagai pengawas," ucapnya.
Baca juga, Legislator Dorong Pembahasan Cukai Plastik Segera Selesai
Dalam pembahasan cukai plastik, Safri mengatakan, Kementerian Keuangan menjadi pimpinan diskusi. Turut terlibat di dalamnya adalah Kemenko Maritim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Kemenperin dan Kementerian Perdagangan.
Safri mengakui, berbagai tantangan muncul dalam menentukan akhir pembahasan cukai plastik. Di antaranya dari Kemenperin yang akan mempertahankan konstituen-nya. Semakin mahal cukai, maka otomatis margin industri akan berkurang dan tidak menutup kemungkinan berdampak pada bisnis terkait.
Tapi, Safri menjelaskan, pemerintah akan tetap melakukan kontrol terhadap plastik. Menurutnya, pemerintah juga akan menyediakan solusi terhadap kemungkinan yang muncul seperti munculnya plastik tanpa cukai atau ilegal. "Kami akan bicarakan ini lebih lanjut dalam forum," tuturnya.
Selain penerapan cukai, pemerintah juga berupaya mendorong industri untuk melaksanakan Extended Producer Responsibility (EPR) atau perluasan tanggung jawab produsen. Pada 2025, industri harus melakukan 100 persen EPR. Apabila tidak melaksanakannya, mereka akan diberi sanksi berupa membayar penalti.
Safri menilai, dengan penegasan EPR, permasalahan sampah plastik dapat teratasi. Sebab, tiap perusahaan bertanggung jawab atas produk plastik yang mereka produksi.
"Misalkan, saya produksi 100 juta ton produk dari plastik per hari, saya juga harus tarik dengan total segitu tiap harinya," ucapnya.
Solusi berikutnya adalah menghentikan impor plastik. Safri mengatakan, dengan tidak impor, diharapkan produsen plastik dapat mendaur ulang dari plastik yang sudah ada.
Rencana penerapan cukai plastik ditolak tegas oleh Wakil Ketua Umum Asosiasi Industri Aromatik, Olefin, dan Plastik (Inaplas) Budi Susanto Sadiman. Menurutnya, kebijakan ini tidak ada urgensinya. "Selain itu, plastik memiliki manfaat, kenapa justru dimasukkan dalam daftar cukai yang diisi dengan barang-barang seperti tembakau dan minuman keras," ujarnya ketika dihubungi Republika.
Budi juga mengatakan, cukai plastik bukanlah solusi mengatasi permasalahan sampah di Indonesia. Sebab, permasalahan ini bukan dari plastik melainkan sikap masyarakat yang masih membuang sampah sembarangan dan tidak ada manajemen sampah secara tepat dari pemerintah.
Baca juga, Terapkan Cukai, Pemerintah tak Ingin Industri Plastik Mati