EKBIS.CO, Diasuh oleh Dr Oni Sahroni, Lc, MA
Assalamualaikum, Ustaz.
Saat ini rata-rata transaksi jual beli dilakukan tanpa ada tawar-menawar sehingga pembeli harus menerima seluruh ketentuan produk tersebut, seperti harga yang sudah terbanderol di swalayan dan pembelian tiket. Apakah transaksi ini diperbolehkan? Bagaimana rambu-rambunya dalam fikih?
Rizal-Surabaya
--
Waalaikumussalam wr wb.
Transaksi ini dikategorikan sebagai transaksi ‘uqud al-idz’an yang diperbolehkan dalam fikih selama diatur, diawasi oleh otoritas agar ada perlindungan konsumen, serta memenuhi rukun serta syarat transaksi. Hal ini sebagaimana keputusan Lembaga Fikih Organisasi Konferensi Internasional (OKI) yang memperkenankan ‘uqud al-idz’an dengan kriteria tersebut.
‘Uqud al-idz’an adalah istilah kontemporer di mana penjual atau pihak yang menyewakan atau pemilik modal dalam akad mudharabah atau musyarakah memiliki kriteria tertentu yang tidak bisa ditawar oleh mitra usaha, seperti pembeli atau penyewa atau pengelola dalam akad bagi hasil.
Pada umumnya, akad jual beli sebagaimana diimplementasikan di supermarket atau di toko-toko bangunan ataupun akad bagi hasil di dunia keuangan syariah rata-rata pihak penjual dalam akad murabahah ataupun pihak yang menyewakan dalam IMBT ataupun akad mudharabah atau musyarakah di sektor keuangan di bank syariah seluruhnya menggunakan skema ‘uqud al-idz’an, di mana mitra usaha (nasabah) tidak ada opsi untuk menawar sebagaimana yang terjadi dalam industri sektor riil atau perdagangan.
Dalam istilah lain dikenal dengan jual paket sebagaimana di swalayan, di mana harga sudah terbanderol dan tidak ada opsi untuk menawar. Pihak penjual memberikan tawaran bahwa setiap orang yang masuk ke swalayan mereka adalah pihak yang setuju dengan seluruh ketentuan yang berlaku dalam produk yang mereka tawarkan.
Pertama, diatur oleh regulator agar para penjual tidak sewenang-wenang dalam menetapkan harga sehingga merugikan konsumen dan cacat ridha. Oleh karena itu, regulasi yang mengatur produk yang dijual produsen harus adil agar memenuhi kriteria tersebut.
Hal ini merupakan kewajiban otoritas sesuai kaidah, "Kebijakan pemimpin terhadap rakyat harus mengikuti kepada kemaslahatan (masyarakat)." Berdasarkan kaidah ini, membuat aturan yang melindungi konsumen menjadi keniscayaan agar produk dengan skema ‘uqud al-idz’an ini tidak merugikan konsumen dan pasar pada umumnya.
Kedua, memenuhi rukun dan syarat transaksi yang dilakukan, baik jual beli, jual jasa, maupun bagi hasil. (a) Tidak ada unsur-unsur terlarang, seperti pinjaman berbunga, suap, judi, objek transaksi yang tidak halal, rekayasa pasokan, dan rekayasa permintaan.
(b) Memenuhi ketentuan akad-akad syariah, seperti apabila objek yang diperjualbelikan tidak wujud atau tidak bisa diserahterimakan saat transaksi, konsumen diberikan opsi untuk membatalkan atau melanjutkan transaksi saat barang dan jasa yang diterimanya tidak sesuai kriteria.
Para ulama ahli fikih menjelaskan bahwa jika transaksi atas barang yang tidak wujud saat akad, hak khiyar ru'yah (opsi membatalkan atau melanjutkan transaksi saat pesanan yang dibeli tidak sesuai kriteria) bagi konsumen melekat pada saat akad.
Dengan demikian, ‘uqud al-idz’an dianggap sah karena mitra usaha atau konsumen telah memilih produk yang akan dibelinya itu telah dianggap setuju ataupun ridha dengan seluruh ketentuan tak tertulis maupun yang tertulis dalam transaksi yang ditawarkan.
Sebagaimana hadis Rasulullah SAW: "Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka."(HR al-Baihaqi dan Ibnu Majah).
Juga sebagaimana hadis: "Perjanjian boleh dilakukan di antara kaum Muslimin kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum Muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram." (HR Tirmidzi).
Semoga Allah SWT yang Maharahman memudahkan dan meridhai setiap ikhtiar kita. Wallahua’lam.