Selasa 04 Dec 2018 14:46 WIB

70 Persen Lahan Sawah di Indonesia ‘Kurang Sehat'

Penurunan produktivitas lahan sawah di Indonesia dapat mencapai 50 hingga 60 persen

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Nidia Zuraya
Lahan persawahan
Foto: Anis Efizudin/Antara
Lahan persawahan

EKBIS.CO, BOGOR -- Kepala Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP) Dedi Nursyamsyi mengatakan, setidaknya 70 persen dari 8 juta hektar lahan sawah di Indonesia ‘kurang sehat’. Artinya, sekitar 5 juta hektar memiliki kandungan bahan organik yang rendah.

Kondisi tersebut disebabkan oleh beberapa faktor. Di antaranya intensitas penggunaan tanah yang tinggi dan terpapar pestisida maupun logam berat. "Dengan kondisi tanah kita yang kadar bahan organik rendah, paparan pestisida membuat bahan organik terdekomposisi dan semakin sedikit," tutur Dedi ketika ditemui dalam Peringatan Hari Tanah Sedunia di Bogor, Selasa (4/12).

Tapi, Dedi mengatakan, kondisi kurang sehat tersebut bukan berarti lahan sawah mengalami degradasi. Ketika mengalami kurang sehat, lahan sawah hanya mengalami sedikit penurunan produktivitas. Dengan mengembalikan bahan organik, lahan bisa kembali sembuh.

Sedangkan, apabila sudah memasuki masa degradasi, penurunan produktivitas dapat mencapai 50 hingga 60 persen. Untuk memperbaikinya pun membutuhkan upaya lebih kompleks, seperti alih fungsi lahan menjadi perhutanan.

Selain lahan sawah, Dedi menjelaskan, kondisi lahan yang mengalami kerusakan lebih banyak dialami di lahan pertanian sayuran. Sebab, di situ, penggunaan pestisida lebih banyak yang menyebabkan kandungan organik semakin rendah. "Misalnya di Wonosobo, Garut, Puncak dan Lembang," ujarnya.

Dedi mengatakan, salah satu upaya yang dapat dilakukan petani adalah bijak dalam menggunakan pupuk atau menerapkan konsep pupuk berimbang. Pupuknya sesuai dengan takaran yang dibutuhkan tanaman atau tidak berlebihan. Sebab, nanti akan terbawa ke air tanah, sungai dan sumur yang berpotensi menjadi polusi.

Dedi menjelaskan, kunci utama dalam mengatasi permasalahan lahan yang kurang sehat dan terdegradasi adalah pengembalian biomassa ke lahan. "Dengan begitu, kadar bahan organik akan terjamin," ujarnya.

Menurut Dedi, konsep tersebut sudah diimplementasikan di berbagai daerah melalui combine harvester, seperti di Pantura. Petani memanen hanya bagian atas atau bulir dan membiarkan jerami berada di situ atau melalui dekomposisi alami. Dengan begitu, jerami akan lapuk dan bercampur dengan tanah.

Selain penggunaan pestisida, Dedi menjelaskan, tantangan terbesar lainnya dalam pengelolaan lahan adalah alih fungsi. Khususnya di Jawa, pembangunan luar pertanian tinggi, seperti untuk industri dan pemukiman.

Oleh karena itu, Dedi menyebutkan, yang dapat dilakukan adalah meningkatkan produktivitas tanah di Jawa melalui inovasi dan teknologi. Kini, rata-rata produksi gabah nasional adalah 5,3 ton per hektar. "Melalui teknologi yang dikembangkan, bisa menjadi enam ton per hektar," ujarnya.

Upaya berikutnya, meningkatkan indeks pertanaman dengan cara irigasi suplementer. Terakhir, eksentifikasi lahan di luar Pulau Jawa yang masih memiliki potensi besar untuk pencetakan sawah baru. Dengan begitu, alih fungsi dapat tercover sekaligus meningkatkan produktivitas sehingga produksi nasional tidak terganggu.

Sekretaris Balitbang Pertanian Muhammad Prama Yufdi menjelaskan, upaya lain yang juga dilakukan adalah mengganti pestisida kimia dengan nabati. Saat ini, sudah banyak perusahaan yang memproduksi pestisida nabati. "Petani swadaya juga sudah menggunakannya," ucapnya.

Pemerintah melalui Kementerian Pertanian juga intensif melakukan pengenalan pestisida nabati di berbagai daerah. Petani juga mendapatkan bimbingan teknis secara langsung. Prama menyebutkan, upaya ini bertujuan agar tidak lagi menggunakan pestisida kimiawi yang berpotensi merusak lahan.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement