EKBIS.CO, JAKARTA – Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani memprediksi, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada tahun depan dapat menyentuh di bawah Rp 14 ribu per dolar AS. Nilai tersebut lebih rendah dari target pemerintah di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019, yakni Rp 15 ribu per dolar AS.
Hariyadi menyebutkan, nilai tukar dapat mencapai Rp 13.800 per dolar AS dengan melihat dua faktor. Pertama, tren harga minyak dunia yang kemungkinan besar mengalami penurunan.
Kedua, optimisme pengusaha untuk mengkonversi mata uang yang selama ini bergantung terhadap dolar AS. "Kita bisa konversi dengan mata uang mitra kita," ujarnya di Jakarta, Rabu (5/12).
Untuk tahapan awal, Hariyadi mengatakan, mitra pertama yang direferensikan pengusaha Indonesia adalah Cina. Nantinya, teansaksi dagang Indonesia-Cina akan menggunakan mata uang Yuan. Ia berharap, konsep serupa dapat diterapkan dengan negara lain seperti Jepang dan Korea Selatan.
Hariyadi menjelaskan, alasan utama pengusaha Indonesia menetapkan Cina sebagai negara referensi pertama adalah tingginya nilai transaksi dagang.
Ia mencatat, total perdagangan Indonesia dengan Cina mencapai 60 miliar dolar AS. Indonesia mengalami defisit dalam transaksi itu, yakni impor 35 miliar dolar AS dan ekspor 25 miliar dolar AS.
Apabila konversi dapat dilakukan hingga 20 miliar dolar AS saja, Hariyadi menjelaskan, akan memberikan efek positif. Sebab, kedua negara akan menjadi tidak atau kurang terpengaruh oleh penguatan dolar AS yang hampir menyasar ke seluruh negara.
Proses konversi mata uang domestik antar kedua negara ini mendapatkan dukungan dari pengusaha. Hariyadi menjelaskan, saat ini, setidaknya sudah ada 31 perusahaan yang bersedia melakukan kerja sama dengan menggunakan konsep tersebut.
Jumlah tersebut kemungkinan besar akan terus bertambah. "Kami masih mendata pemain-pemain besar, siapa saja eksportir dan importirnya," ujarnya.
Hariyadi memperkirakan, dengan mengonversi dolar ke mata uang negara mitra, Indonesia akan mendapat keuntungan hingga Rp 400 miliar. Dampak lainnya, nilai tukar dapat menyentuh Rp 13.800 per dolar AS.
Hariyadi mengakui, dinamika global masih menjadi tantangan terberat pengusaha pada 2019, khsuusnya perang dagang antara Amerika dengan Cina. Kondisi ini mempengaruhi sentimen pelaku usaha.
Meski sempat dikatakan mereka pada pertemuan G20, ia pesimistis, tensi dapat terus mereda karena tidak adanya kelanjutan upaya yang lebih riil.
Selain faktor eksternal, tahun politik 2019 juga mempengaruhi sentimen pelaku usaha. Sebab, menteri-menteri dalam kabinet belum terbentuk pada periode tersebut sampai Oktober 2019.
"Ini mempengaruhi penilaian kami di dalam negeri, belum optimal untuk pencapaian target-target itu," ujar Hariyadi.
Tidak kalah penting, Hariyadi menambahkan, tumpang tindih regulasi perizinan di tingkat pemerintah daerah juga masih menjadi tantangan. Sistem One Single Submission (OSS) yang dicanangkan pemerintah untuk memudahkan investasi pun tidak berdampak signifikan karena masih sulit digunakan oleh calon investor.
Ekonom dari Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho mengatakan, rencana pemerintah untuk bertransaksi menggunakan mata uang mitra dagang hanya akan berdampak temporer terhadap penurunan nilai tukar. "Sebab, kita tahu sebetulnya larinya dana ke luar itu membuat volatilitas pergerakan kurs rupiah menjadi tinggi," tuturnya.
Andry menyebutkan, solusi yang lebih tepat untuk memperbaiki nilai tukar rupiah terhadap dolar AS adalah fundamental ekonomi. Yakni, bagaimana memperbaiki current account defisit atau defisit neraca berjalan. Jadi, nanti kalau ada dana yang lari ke luar negeri, rupiah tidak mengalami collapse.
Sekarang, yang terjadi adalah, ketika dana dari portfolio itu kelur, rupiah langsung mengalami collapse. Rupiah menguat juga didasari pada upaya pemerintah untuk memberikan instrumen surat berharga dengan bunga besar untuk menarik dana dari luar.
"Ini juga hal yang tidak sustainable," ujar Andry.