EKBIS.CO, JAKARTA -- Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terus berupaya mendongkrak peningkatan ekspor produk perikanan Indonesia. Hal ini dilakukan untuk mencapai target ekspor produk perikanan Indonesia tahun 2018 yang ditetapkan mencapai nilai 5 miliar dolar AS.
Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PDSPKP) KKP, Rifky Effendi Hardijanto menjelaskan enam komoditi perikanan yang diharapkan mampu memacu nilai ekspor perikanan Indonesia, yaitu udang, tuna, kepiting, rajungan, gurita, rumput laut, cakalang dan tongkol.
"Namun udang dinilai sebagai pilar utama ekspor produk perikanan Indonesia karena pada periode Januari-Oktober 2018 saja, nilai ekspor udang sudah mencapai 1,5 miliar dolar," ujar Rifky melalui siaran persnya, Ahad (16/12).
Menurut Rifky, pasar utama udang Indonesia adalah pantai timur Amerika. Sedangkan pantai barat Amerika masih dikuasai pemasok dari India. Begitu pula dengan pasar Eropa yang belum dapat dioptimalkan untuk pemasaran produk perikanan Indonesia.
“Amerika marketnya in general, market leadernya adalah india, kita nomor dua. Di Eropa lebih parah lagi, size marketnya kurang lebih sama dengan amerika yaitu 6 koma sekian miliar dolar setahun, tapi Indonesia hanya nomor belasan, tidak masuk 10 besar. Di Eropa, dari market 6 koma sekian miliar dollar itu, kontribusi kita hanya sekitar 84 juta dolar AS. Jadi kecil sekali,” papar Rifky
Padahal menurut Rifky, secara umum kebutuhan udang dunia masih belum dapat dipenuhi pemasok-pemasok yang ada, sehingga ini merupakan kesempatan Indonesia untuk mengoptimalkan pemasaran hasil penangkapan atau budidaya udang Indonesia. Utamanya dengan mengoptimalkan penggunaan teknologi penangkapan atau budidaya dan pemberdayaan ahli-ahli perikanan Indonesia.
“Potensi udang ini masih besar dan ternyata UPI (Unit Pengolahan Ikan) udang itu baru beroperasi di kisaran 60 persen. Dan ketika saya ngobrol dengan eksportir-eksportir udang, mereka (mengaku) kekurangan bahan baku. Artinya yang harus kita dorong adalah sektor hulu, produsen udangnya. Tambaknya ini yang harus kita perbanyak. Jadi kita dorong intensifikasi dan penggunaan teknologi kolam bioflok udang,” lanjut Rifky.
Sebenarnya industri pertambakan udang Indonesia pernah berjaya di tahun 1980-an. Namun karena berbagai faktor seperti faktor teknis, finansial, politik, dan sebagainya, banyak industri pertambakan udang kemudian mati.
Menurut Rifky, sudah saat mengembalikan kejayaan industri udang di Indonesia dengan pemanfaatan teknologi mulai dari perhitungan tingkat kelangsungan hidup (survival rate/SR), penetasan (hatchery), pembibitan (nursery), hingga pembesaran.
Rifky juga mendorong para investor berinvestasi di sektor pembibitan karena dinilai sangat menguntungkan secara ekonomi. Peningkatan nilai udang dari benur hingga menjadi bibit udang yang siap dibesarkan sangatlah besar atau berkali-kali lipat.
Rifky berpendapat, industri udang Indonesia juga perlu memperbaiki sistem logistik dari hulu ke hilir yang dapat membantu upaya pembebasan atau pengurangan tarif bea masuk produk perikanan Indonesia ke negara tujuan ekspor.
Optimalisasi juga dapat dilakukan pada industri pengolahan komoditi perikanan menjadi bahan makanan siap saji sesuai karakteristik millennial generation. Pengembangan ini menurut Rifky tentunya membutuhkan dukungan permodalan dari perbankan.
“Kalau kita bisa menambah (nilai ekspor) 1 miliar dolar AS dalam 3 tahun ke depan, maka kita bisa membantu memperbaiki neraca perdagangan Indonesia,” yakin Rifky.