EKBIS.CO, JAKARTA -- Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menilai batu bara memiliki peranan yang cukup besar sebagai salah satu pemenuhan energi di masa depan berdasar pada hasil penemuan dan riset terkini. Tak hanya itu, Indonesia sebagai salah satu produsen dan eksportir batubara terbesar di dunia juga dapat berkontribusi terhadap perekonomian, berasal dari total penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Batu bara Indonesia dikenal sebagai batu bara thermal paling ramah lingkungan di dunia, dengan penggunaan teknologi baru yang diterapkan pada proyek pembangkit listrik diharapkan dapat meminimalkan dampak lingkungan. Saat ini telah terdapat teknologi pembangkit listrik tenaga uap yang dapat mengurangi dampak emisi CO2 yang cukup signifikan dan hemat bahan bakar, yaitu teknologi superkritikal atau ultra-superkritikal.
“Potensi batu bara kita masih relatif besar. Tentunya kita harapkan ini dapat didukung dengan kebijakan dan regulasi yang tepat agar pengembangan dan pemanfaatan batu bara sebagai sumber energi bisa berkembang di masa depan,” ungkap Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Energi Mineral, Batubara dan Listrik, Boy Garibaldi Thohir di sela-sela forum International Energy Agency (IEA) Coal Forecast to 2023 yang digelar di Ritz Carlton, Mega Kuningan, Jakarta (18/12).
Batu bara, kata Boy, masih menjadi sumber energi utama kelistrikan nasional jika dibandingkan dengan sumber listrik lainnya seperti gas alam dan panas bumi. Adanya kepastian program penyediaan listrik dan program 35 GW akan mendorong terciptanya efek berganda yang positif bagi pertumbuhan ekonomi hingga ke daerah-daerah.
Berdasarkan data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), per 13 September 2018, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) minerba mencapai Rp 33,55 triliun. Jumlah tersebut telah melampaui target PNBP tahun ini yang dipatok sebesar Rp 32,09 triliun atau sudah terealisasi 104,5 persen. Proporsi PNBP tersebut 70 persen berasal dari batu bara, sedangkan 30 persennya disumbang dari sektor mineral.
Di sisi lain, Indonesia juga memiliki posisi geografis strategis untuk pasar negara-negara berkembang seperti China dan India. Berdasarkan data IEA, permintaan batu bara global akan stagnan hingga 2022 dan kondisi tersebut juga mempengaruhi permintaan batubara di Cina yang menurun secara perlahan.
Pada 2017, rebound ekonomi dan output hidro yang rendah telah mendorong pertumbuhan permintaan batu bara di Cina setelah tiga tahun menurun. Meskipun dorongan energi terbarukan dan harga gas yang lebih rendah, permintaan daya tambahan sebagian dipenuhi oleh batu bara.
Seperti diketahui, sekitar 66 persen dari pembangkit listrik di tanah air hingga saat ini adalah pembangkit listrik berbasis batu bara (PLTU). Pasokan batubara untuk kebutuhan PLTU dalam negeri diperkirakan akan meningkat sgnifikan dalam kurun waktu lima tahun ke depan. Realisasi di tahun 2015 sekitar 70.8 juta ton dan di tahun 2020 diperkirakan sekitar 177.5 juta ton.