EKBIS.CO, NEW YORK -- Harga minyak naik lebih dari dua persen pada akhir perdagangan Selasa (8/1) atau Rabu (9/1) pagi WIB. Kenaikan harga ini didukung oleh harapan bahwa permintaan minyak mentah dapat naik lebih cepat jika Amerika Serikat dan Cina bisa menyelesaikan perselisihan perdagangan antara dua ekonomi terbesar dunia itu.
Minyak mentah berjangka AS, West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Februari, meningkat 1,26 dolar AS atau 2,6 persen, menjadi menetap pada 49,78 dolar AS per barel di New York Mercantile Exchange. Selama sesi, kontrak sempat menyentuh 49,95 dolar AS, tertinggi sejak 17 Desember.
Sementara itu, patokan internasional, minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman Maret, naik 1,39 dolar AS atau 2,4 persen, menjadi ditutup pada 58,72 dolar AS per barel di London ICE Futures Exchange.
"Situasi perdagangan pastinya bullish, Anda memiliki konstruksi permintaan yang baik jika kami dapat menyelesaikan kesepakatan perdagangan ini," kata Bob Yawger, direktur berjangka di Mizuho di New York.
Perundingan berlangsung baik sejauh ini dan akan berlanjut pada Rabu (9/1), kata anggota delegasi AS Steven Winberg. Ini adalah pertemuan tatap muka pertama antara pejabat-pejabat dari kedua negara, sejak Presiden AS Donald Trump dan Presiden Cina Xi Jinping pada Desember sepakat untuk gencatan senjata 90 hari dalam perang dagang yang telah menggemparkan pasar keuangan global.
Pada Senin (7/1), Menteri Perdagangan AS Wilbur Ross dan kementerian luar negeri Cina menyatakan optimisme untuk menyelesaikan perselisihan. Akan tetapi, beberapa analis memperingatkan bahwa ketegangan dapat terjadi lagi.
Para pedagang minyak juga khawatir bahwa kemungkinan perlambatan ekonomi dunia bisa mengurangi konsumsi bahan bakar. Hedge fund industri telah memangkas secara signifikan posisi bullish dalam minyak mentah berjangka.
S&P Global Ratings mengatakan telah menurunkan perkiraan rata-rata harga minyak untuk 2019 sebesar 10 dolar AS per barel menjadi 55 dolar AS per barel untuk Brent dan 50 dolar AS per barel untuk WTI.
"Asumsi harga minyak kami yang lebih rendah mencerminkan permintaan yang melambat dan meningkatnya pasokan secara global," kata analis S&P Global Ratings, Danny Huang.
Harga minyak mentah telah didukung oleh pemotongan pasokan dari Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) termasuk eksportir utama Arab Saudi, dan sekutunya termasuk Rusia.
Arab Petroleum Investments Corp yang berbasis di Saudi, yang mendanai proyek-proyek perminyakan, memperkirakan bahwa harga minyak kemungkinan akan diperdagangkan pada 60 dolar AS hingga 70 dolar AS per barel pada pertengahan 2019.
Namun, pasokan minyak AS sedang melonjak. Peningkatan tajam dalam pengeboran serpih darat (onshore shale) telah membantu menjadikan Amerika Serikat sebagai produsen utama dunia, dengan produksi minyak mentah naik dua juta barel per hari (bph) tahun lalu ke rekor dunia 11,7 juta barel per hari.
Pasar sedang mengamati dengan seksama pasokan AS, yang para analis perkirakan akan turun 3,3 juta barel dalam minggu terakhir. Jika data pemerintah pada Rabu waktu setempat mengkonfirmasi perkiraan itu, itu akan mengirim sinyal bullish yang kuat ke pasar, kata John Kilduff, seorang mitra di Again Capital Management di New York.