Kamis 10 Jan 2019 18:01 WIB

Mendag: Pengendalian Impor Terus Dilaksanakan

Impor besi dan baja mengalami peningkatan 59 persen dari Cina.

Rep: Adinda Pryanka / Red: Friska Yolanda
Besi dan Baja Prioritas Industri di Indonesia: Pekerja melakukan bongkar muat besi baja di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta, Kamis (28/5).
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Besi dan Baja Prioritas Industri di Indonesia: Pekerja melakukan bongkar muat besi baja di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta, Kamis (28/5).

EKBIS.CO,  JAKARTA -- Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita memastikan pengendalian impor dan perlindungan industri dalam negeri secara konsisten terus dilakukan. Di antaranya melalui trade remedy yang sepanjang 2018 sudah diterapkan dalam empat tindakan, dua anti dumping terhadap steel wire rods dan tin plate serta dua safeguard ke baja paduan serta ubin keramik.

Menurut Enggar, empat tindakan trade remedy tersebut mencapai nilai impor 0,60 miliar dolar AS, berdasarkan data BPS dari Januari sampai Oktober 2018. Rinciannya, anti dumping terhadap steel wire roads bernilai impor 202,5 juta dolar AS dan tin plate 68,8 juta dolar AS. Sementara itu, safe guard baja paduan 39,6 juta dolar AS dan ubin keramik bernilai 288,2 juta dolar AS. 

"Ini tujuannya untuk melindungi pelaku usaha dalam negeri dari praktik dagang yang tidak adil," katanya dalam konferensi pers di Gedung Kemendag, Jakarta, Kamis (10/1).

Pengendalian impor juga dilakukan melalui regulasi teknis berupa kewajiban Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk mainan anak, produk baja, alas kaki, gula dan sebagainya. Labelling turut dilaksanakan terhadap produk elektronik, produk bangunan, alas kaki, tekstil dan produk tekstil (TPT) hingga hortikultura.

Terbaru, pengendalian impor dilakukan terhadap komoditas besi dan baja. Menurut Enggar, impor dua komoditas ini mengalami peningkatan 59 persen dari Cina yang menjadi tertinggi di dunia sejak mengeluarkan peraturan perpindahan pengawasan dari border ke post border.

Baca juga, Direvisi, Aturan Baru Impor Baja Berlaku Mulai 20 Januari 

Enggar mengatakan, perpindahan ke post border utamanya ditujukan untuk relaksasi meski potensi penyimpangan diprediksi meningkat. Tapi, pemerintah juga melakukan evaluasi dan menilai bahwa dampak negatifnya dirasakan pada industri hulu. 

"Oleh karena itu, saya minta izin kepada Menko (Darmin Nasution) untuk diubah kembali dari post border ke border dan sudah diimplementasikan melalui Permendag Nomor 110," ucapnya.

Peraturan yang dimaksud Enggar adalah Permendag Nomor 110 Tahun 2018 Tentang Ketentuan Impor Besi atau Baja, Baja Paduan dan Produk Turunannya. Regulasi ini merupakan revisi dari Permendag Nomor 22 Tahun 2018. Perubahan utamanya, kegiatan pengawasan yang semula di post border oleh Kemendag, menjadi ke border dan diawasi tim bea cukai.

Enggar menuturkan, impor akan dilakukan apabila memang terjadi kekurangan produksi dalam negeri secara kuantitas. Kalaupun ada, tidak memenuhi persyaratan kualitas yang dibutuhkan industri.

Salah satu komoditas yang harus diimpor adalah garam. Menurut Enggar, garam yang diproduksi Indonesia belum memenuhi kebutuhan industri, sedangkan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) membutuhkan kandungan NaCl tinggi. "Kalau kita paksa ambil garam dari pantura yang sudah terkontaminasi, tidak mungkin. Apalagi untuk makanan dan minuman," ucapnya.

Kondisi serupa juga dialami gula produksi dalam negeri. Enggar menjelaskan, tingkat kemurnian gula yang diinginkan industri tinggi, sedangkan kualitas dalam negeri belum dapat memenuhinya. Oleh karena itu, dibutuhkan pemenuhan impor dari negara lain. Hal ini juga seiring dengan tuntutan masyarakat terhadap kesehatan dan kualitas bahan pokok yang semakin meningkat.

Sementara itu, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengatakan, ketersediaan baja impor yang sembarangan masuk ke Indonesia menjadi penyebab utama industri baja mengalami idle. "Melalui Permendag, kami coba tertibkan sehingga utilisasi dapat ditingkatkan," ujarnya ketika ditemui usai acara Outlook Perekonomian 2019 di Jakarta, Selasa (8/1).

Airlangga mengatakan, pengaturan pengawasan ini utamanya disebabkan kasus pengalihan Harmonized System (HS) dari produk baja karbon menjadi alloy steel. Kebanyakan, produk impor adalah baja karbon untuk konstruksi yang seharusnya dikenakan bea masuk 10 sampai 15 persen.

Tapi, karena pihak pengimpor menambah lapisan material boron dan chrome, baja karbon tersebut beralih menjadi alloy steel. Sedangkan, alloy steel hanya mendapatkan bea masuk rendah nol sampai lima persen. Kondisi ini menyebabkan produk impor dijual dengan harga sama atau bahkan lebih rendah dibandingkan buatan dalam negeri.

Melalui revisi Permendag, Airlangga mengatakan, pemerintah dan pihak terkait dapat melakukan pencegahan sejak lebih dini yakni di border. Selain itu, importir memiliki pertimbangan teknis dari Kemenperin. "Kemarin itu kan di post border dan sekarang kembali lagi ke border atau PLB," katanya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement