Ahad 13 Jan 2019 20:27 WIB

Kajian Mitigasi Gempa PLTA Batang Toru Tuntas 2017

Kajian kegempaan merupakan bagian terpenting bagi proyek PLTA.

Red: EH Ismail
Pekerja berada di proyek pembangunan rumah turbin untuk  PLTA Jatigede, Sumedang, Jawa Barat, Senin (9/7).
Foto: ANTARA FOTO
Pekerja berada di proyek pembangunan rumah turbin untuk PLTA Jatigede, Sumedang, Jawa Barat, Senin (9/7).

EKBIS.CO, MEDAN -- Rancang bangun Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Toru di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara (Sumut), didesain tahan gempa. Kajian menyeluruh yang merujuk pada ketentuan internasional untuk mitigasi risiko gempa selesai dilakukan pengembang PLTA Batang Toru sejak 2017.

Tenaga Ahli PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE), Didiek Djawadi mengatakan, kajian kegempaan merupakan bagian terpenting bagi proyek PLTA. Proses survei yang dilakukan menyangkut berbagai detail, termasuk mempertimbangkan fakta ada sesar di kawasan Batangtoru.

“Setiap detail terkait mitigasi risiko kegempaan sangat kita perhatikan,” kata Didiek kepada wartawan di Medan, Ahad (13/1).

Menurut Didiek, aspek kegempaan sudah disampaikan terbuka dalam banyak kesempatan, baik even nasional, maupun di tingkat Sumut. Terakhir, saat diskusi "Dinamika Tektonik & Potensi Bahaya Gempa Segmen Toru, Khususnya PLTA Batang Toru" di Medan, yang dilakukan Ikatan Alumni Institut Teknologi Bandung, bulan lalu. Diskusi itu dihadiri sejumlah pemangku kepentingan, akademisi, dan juga kelompok-kelompok masyarakat.

Didiek menjelaskan, proses survei yang dilakukan dalam serangkaian tahapan waktu tersebut, diselesaikan pada Maret 2017. Intinya, kata Didiek, kajian yang dilakukan dan rekomendasi yang dihasilkan, merujuk pada berbagai ketentuan nasional dan internasional.

Didiek menekankan, sebuah keliru jika menilai pembangunan proyek sebesar PLTA tidak dilandasi kajian kegempaan. Justru aspek ini sangat serius ditangani, dan melibatkan ahli berkompeten untuk itu. Kajian tidak hanya sebatas sesar aktif yang ada di Batangtoru, melainkan, mengkompilasi data kegempaan hingga radius 500 kilometer dari lokasi pembangunan PLTA. Baik data dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), United States Geological Survey (USGS) dan lembaga lainnya.

Kombinasi analisa kejadian gempa sebelumnya dan survei termutahir, itulah yang menjadi kesimpulan tim ahli. Rekomendasi yang disampaikan sangat mempertimbangkan kemampuan bangunan menerima efek dari potensi gempa itu sendiri.

"Itu yang harus kita analisis, bagaimana membuat suatu bangunan yang tidak runtuh oleh gempa. Sehingga baik dari struktur, beton, jenis tipenya itu semua harus terukur," ujar Didiek, yang juga anggota Pusat Studi Gempa Bumi Nasional (PuSGeN).

Wilayah yang berada di dekat sesar bumi aktif tetap bisa dimanfaatkan untuk pembangunan infrastruktur. Namun diperlukan penguatan bangunan dengan perlakuan teknik sipil sebagai mitigasi terjadinya aktivitas geologi.

Sesuai standar

Secara terpisah, Ketua Umum Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Sukmandaru Prihatmoko menjelaskan, hampir seluruh wilayah Indonesia ada patahan (sesar) bumi aktif, kecuali di Kalimantan.  Ini berarti pembangunan infrastruktur harus mendapat perlakuan khusus untuk meminimalisasi risiko jika terjadi aktivitas geologi seperti gempa.

“Ada pekerjaan enginering yang lebih. Misalnya penguatan bangunan secara teknis sipil,” katanya.

Menurut Sukmandaru, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) telah merilis beberapa Standard Nasional Indonesia (SNI) dan kode bangunan yang harus diikuti sehingga memiliki ketahanan gempa sampai skala tertentu. “Memang ini akan berdampak pada biaya yang lebih tinggi, tapi mesti kita ikuti,” katanya.

Ia menyatakan, bangsa Indonesia bisa belajar dari Jepang yang sudah sangat memperhitungkan potensi bencana geologis dalam kebijakannya. Berbekal perhitungan tersebut, Jepang tetap bisa membangun berbagai infrastruktur.

Terkait jarak aman wilayah yang bisa dibangun jika ada patahan yang mencuat ke permukaan (rupture), Sukamandaru mencontohkan, di San Adreas, salah satu kota paling rawan gempa di Amerika  Serikat, bangunan bahkan bisa dibangun dengan jarak 15 meter dari garis patahan.

Pemasangan Tanda Bahaya

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo mengatakan, mengenai mitigasi risiko bencana di jalur sesar yang telah diidentifikasi, pemerintah berencana memberikan peringatan ke publik. Bentuknya antara lain dengan memasang tanda-tanda bahaya.

“Tugas pemerintah untuk memberi peringatan agar tidak lagi disalahkan kalau terjadi bencana. Suka tidak suka, masyarakat harus tahu risikonya. Berikutnya ke depan harus ada penataan ruang berbasis risiko bencana ini,” kata Doni Monardo kepada wartawan di Sukabumi, Jawa Barat, Jumat (11/1).

Secara nasional, jumlah sesar baru yang ditemukan sebanyak 295 zona. Hasil penelitian Pusgen menunjukkan, di area satu kilometer  jalur patahan aktif di Indonesia terdapat 2.892 bangunan sekolah, 40 rumah sakit, 126 puskesmas, dan jumlah penduduk di area itu mencapai 4.103.975 jiwa.

Selain itu, terdapat infrastruktur transportasi sebanyak 11 pelabuhan, 21 terminal, 2 stasiun, 237 ruas jalan provinsi sepanjang 652,3 km, 31 ruas jalur kereta api dengan panjang 83,3 km, dan 15 ruas jalan tol sepanjang 20,1 km. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement