EKBIS.CO, JAKARTA -- Pengelola ritel Sogo, PT Panen Lestari Internusa, meminta perlakuan adil dengan pelaku perdagangan elektronik (e-commerce). Desakan itu muncul pascapenerbitan aturan perpajakan bagi sektor jual beli dalam jaringan (online).
Direktur Pelaksana Panen Lestari Internusa Handaka Santosa mengatakan ritel konvensional dan online harus diperlakukan setara. Soal perpajakan dan standar kualitas barang termasuk aspek yang harus disejajarkan perlakuannya.
"SNI (Standar Nasional Indonesia) online bagaimana? Padahal, kalau di kami, barang-barang di bawah dua tahun, semua ada SNI-nya," kata Handaka saat ditemui di Jakarta, Rabu.
Terkait hitungan pajak, Handaka menuturkan peritel besar seperti perusahaannya menyumbang pajak cukup besar. Mereka dikenakan pajak pertambahan nilai (PPN) hingga 20 persen untuk setiap meter persegi lahan toko.
"Kami sewa di sini, kami bayar pajak dari setiap meter perseginya. Untuk satu meter persegi saja, kami sudah harus bayar 20 persen," tuturnya.
Di samping itu, Handaka menyatakan peritel konvensional juga berkontribusi besar dalam lapangan kerja. Ia memandang ironis jika peritel konvensional justru hanya mendapatkan sedikit perlindungan.
Handaka mengungkapkan, pihaknya berencana untuk membuka gerai baru di Medan, Sumatra Utara, dengan luasan areal 10 ribu meter persegi. Gerai itu diperkirakan bisa mempekerjakan minimal 400 orang.
"Untuk 10 ribu meter persegi itu berarti 400 karyawan, mulai dari yang jaga, bersih-bersih, keliling. Banyak sekali, tapi dukungan pemerintah bisa dibilang seiprit (sedikit)," katanya.
Meski penuh tantangan terutama di era digital, Handaka mengaku peritel konvensional tidak merasa tersaingi dengan toko daring karena pihaknya juga telah merambah sistem online.
"Kami tidak takut dengan online, hanya saja kami ingin fairness (keadilan)," katanya.
Pemerintah melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 210 Tahun 2018. Pelaku usaha yang berjualan melalui platform marketplace kini tidak akan diwajibkan untuk membuat Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) maupun melaporkan Nomor Induk Kependudukan (NIK).
Kebijakan tersebut ditujukan untuk pelaku usaha yang memiliki penghasilan di bawah ambang batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Mereka adalah pelaku bisnis baru yang memiliki pendapatan di bawah PTKP atau Rp 54 juta per tahun dan apabila disetarakan dalam bentuk omzet yakni sebesar Rp 300 juta per tahun.
"Kami ingin sampaikan bahwa tidak ada keharusan untuk menyampaikan NPWP maupun NIK," kata Sri dalam konferensi pers di kompleks parlemen, Jakarta pada Rabu (16/1).