EKBIS.CO, YOGYAKARTA -- Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi menyebutkan mengacu hasil kajian yang dilakukan para ahli, bandara New Yogyakarta International Airport (NYIA) bisa bertahan terhadap bencana tsunami berskala besar dari pantai selatan Yogyakarta. Menurut Budi Karya, potensi bencana tsunami merupakan salah satu risiko yang telah diantisipasi dan diperhitungkan dalam pembangunan NYIA.
"Kita sudah memperhitungkan dengan skala tsunami yang besar bandara ini tetap bisa eksis secara struktur," kata Budi Karya seusai menggelar rapat progres pembangunan bandara Kulon Progo di Bandara Adisutjipto, Yogyakarta, Ahad (20/1) sore.
Untuk mengantisipasi dampak bencana itu, pemerintah telah menunjuk para ahli dari Jepang, Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Universitas Gadjah Mada (UGM), bahkan telah dilakukan perhitungan apabila muncul tsunami dengan skala besar. "Kita juga sudah menyiapkan mitigasinya," kata dia.
Salah satu upaya mitigasinya, lanjut Budi, adalah dengan merencanakan bangunan di terminal bandara antara lantai satu ke lantai dua memiliki ketinggian mencapai 8 meter yang memungkinkan para penumpang bisa naik ke atas saat terjadi tsunami.
Selain itu, menurut dia, di kawasan tepi pantai juga akan ditanami pepohonan serta dibuat gundukan-gundukan sehingga saat tsunami datang tidak akan maksimal menjangkau bandara. "Jadi tsunami inysa Allah sudah kita mitigasi baik dari struktur maupun bagaimana operasional bandara itu berjalan," kata dia.
Sementara itu, Project Manager NYIA Taochid Purnama Hadi memastikan bahwa seluruh bangunan di NYIA telah direncanakan tahan gempa hingga 8,8 skala richter (SR) serta tsunami hingga 12 meter. "Untuk terminal bandara di lantai duanya ada diplus 15 meter artinya ketika terjadi tsunami (12 meter) masih aman," kata dia.
Selain itu, menurut Tochid, PT Angkasa Pura I juga telah berkoordinasi dengan Pemkab Kulon Progo untuk memanfaatkan kawasan tepi pantai sebagai penyangga bandara. Di daerah penyangga itu nantinya akan ditanami vegetasi yang bisa berfungsi sebagai "tsunami barrier" atau penghalau tsunami.
Kerja sama dengan Pemda, menurut dia, perlu dilakukan mengingat kawasan tepi pantai itu ada di luar lahan yang saat ini dikelola AP I untuk pengerjaan NYIA. "Tetapi yang lebih penting kami berharap kawasan tepi pantai itu tidak menjadi area tambak karena akan mengundang burung-burung yang bisa mengganggu operasional penerbangan," kata dia.
Sebelumnya, perekayasa Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Widjo Kongko mengingatkan perlu adanya kepastian pembangunan tsunami barrier atau infrastruktur penghalang tsunami di kawasan NYIA untuk mengantisipasi potensi tsunami dengan ketinggian 10-15 meter di bibir pantai Kulon Progo.
Widjo dalam diskusi panel dengan tema "Masa Depan Mitigasi Bencana Tsunami di Indonesia" di Yogyakarta, Senin (14/1) mengatakan potensi tsunami dengan tinggi gelombang 10-15 meter di bibir pantai yang berjarak 300 meter dari area landas pacu NYIA diasumsikan apabila terjadi gempa megathrust dengan magnitude 8,5-9 SR.
Menurut dia, titik potensi gempa megathrust di selatan Jawa Tengah dan Jawa Timur paling memungkinkan membawa dampak tsunami hingga 10-15 meter di bibir pantai Kulon Progo. Dengan gelombang tsunami di bibir pantai setinggi itu sangat memungkinkan menenggelamkan daratan di kawasan bandara NYIA tergantung kondisi tutupan lahan serta kemiringan lahan di kawasan itu.
Berdasarkan kajian yang sedang dilakukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), menurut dia, mengindikasikan bahwa tsunami purba atau tsunami masa lalu pernah terjadi dengan sebaran mencapai 1.000 kilometer yang membentang mulai Jawa Barat hingga Pulau Bali karena dipicu oleh gempa besar dengan magnitude 8,5 sampai 9 SR.
"Tsunami masa lalu atau tsunami purba itu nyata, jaraknya katakanlah untuk sedimen tsunami itu 1,5 kilometer dari pinggir pantai," kata Widjo.