Rabu 23 Jan 2019 08:46 WIB

Tata Niaga Komoditas Jagung Perlu Dievaluasi

Petani perlu diarahkan bekerja sama dengan swasta untuk efisiensi pascapanen.

Red: Friska Yolanda
Menteri Pertanian Amran Sulaiman saat melakukan panen jagung di Desa Randu Merak, Kecamatan Paiton, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, Rabu (16/1).
Menteri Pertanian Amran Sulaiman saat melakukan panen jagung di Desa Randu Merak, Kecamatan Paiton, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, Rabu (16/1).

EKBIS.CO,  JAKARTA -- Pemerintah diharapkan terus mengevaluasi tata niaga komoditas jagung. Hal itu guna memastikan bahwa tingkat fluktuasi harga terjaga dengan stabil serta pasokannya juga tersedia dengan memadai untuk berbagai kebutuhan warga.

"Pemerintah perlu memastikan harga jagung dan ketersediannya di pasar terus stabil," kata Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Assyifa Szami Ilman di Jakarta, Selasa (22/1).

Menurut Ilman, pada paruh pertama 2018, konsumsi jagung untuk pakan ternak mencapai 8,6 juta ton. Jumlah ini setara dengan lebih dari 70 persen total konsumsi jagung di Indonesia pada periode tersebut. Selain itu, ujar dia, pada periode 2009-2018, konsumsi jagung untuk pakan ternak meningkat sebayak 477.780 ton per tahun.

Untuk mengatasi kekurangan suplai, pemerintah menjalankan program Upaya Khusus (Upsus) dengan membagikan benih jagung hibrida gratis. Ini dinilai hanya bisa meningkatkan hasil produksi jagung sebanyak 294.440 ton per tahun.

Baca juga, Bulog: Impor Jagung 30 Ribu Ton tak Wajib

"Akibat hasil produksi nasional belum bisa memenuhi kebutuhan nasional, harga jagung, yang sebagian besar digunakan sebagai pakan ternak, terus meningkat. Kenaikan harga telur ayam, daging ayam dan daging sapi berdampak pada 21 juta rumah tangga petani dan 35 juta rumah tangga nonpetani yang merupakan net consumers yang artinya membeli jagung lebih banyak dari pada yang mereka tanam sendiri," jelasnya.

Ia mengemukakan ada sejumlah hal yang harus dievaluasi oleh pemerintah. Hal itu antara lain penerapan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 57 Tahun 2015 dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 21 Tahun 2018. Keduanya memiliki poin-poin yang justru bertentangan satu sama lain dalam menentukan pihak mana yang berwenang untuk mengimpor jagung dan dokumen apa saja yang dibutuhkan oleh para importir resmi.

"Kedua peraturan tersebut juga memberlakukan prosedur yang panjang untuk mendapatkan lisensi impor. Untuk mendapatkan dokumen ini dibutuhkan sekitar 53 hari kerja. Hal ini dapat menyebabkan impor dilakukan pada waktu yang tidak tepat yaitu pada saat harga jagung dunia sedang rendah," ujar Ilman.

Pemerintah, lanjutnya, sebaiknya memberikan dukungan kepada petani selagi mereka beralih dari benih tradisional ke benih hibrida yang lebih produktif dan tahan penyakit. Sementara para petani, ujar dia, juga sebaiknya diarahkan untuk bekerja sama dengan pihak swasta untuk meningkatkan efisiensi proses pascapanen.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement