EKBIS.CO, BANDAR LAMPUNG -- Makin sulit untuk mengangkat kejayaan lada hitam di Lampung seperti sebelumnya. Petani lada yang tersebar di provinsi ini terus-terusan mengeluh karena harga jual komoditas pernah unggulan tersebut kian anjlok. Banyak petani yang beralih menjadi petani coklat dan jagung, meskipun hal itu tak begitu menjanjikan.
Tanaman lada yang menjadi kebanggaan orang Lampung tempo dulu, semakin tak diminati warga zaman sekarang. Berkebun lada menjadi tidak populer saat ini, karena tidak dapat menjanjikan kehidupan petani dan keluarganya lebih baik. Hanya petani yang turun temurun yang masih bertahan kebunnya berisi tanaman lada, selebihnya hijrah ke tanaman komoditas lain.
Petani lada hitam yang masih bertahan di tengah terpuruknya harga lada hanya pasrah. Mereka tidak bisa berbuat banyak. Pemerintah daerah pun tak mampu menanggulangi merosotnya harga lada baik lokal maupun global. Sebagian petani lada juga, banyak yang membagi ladangnya dengan tanaman lain sebagai tanaman selingan.
Saat ini harga komoditas andalan Lampung tersebut pada tingkat petani berkisar Rp 25 ribu hingga Rp 37 ribu per kg, bergantung kondisi dan cuaca. Biasanya, lada hitam bisa tembus harga Rp 120 ribu per kg pada tahun 2016. Sejak dua tahun terakhir, dan memasuki awal 2019, harga lada tidak berubah naik, namun terus merosot.
“Sekarang harga lada Rp 37 ribu per kg. Tahun lalu hanya Rp 30 ribu,” kata Hafaz, petani lada di Desa Hanura, Kecamatan Hanura, Kabupaten Pesawaran, Lampung, Jumat (25/1).
Ia masih bertahan memelihara kebun ladanya seluas tiga hektare meskipun harganya merosot. Petani lada masih berharap harga lada terus membaik seperti tahun-tahun sebelumnya yang menyentuh harga Rp 150 ribu per kg lebih. “Sepertinya jauh kalau tembus Rp 150 ribu per kg,” ujarnya.
Menurut dia, harga lada di Lampung sudah hancur sejak dua tahun terakhir. Kisaran harga lada di tingkat petani Rp 30 ribu sampai 50 ribu per kg. Merosotnya harga lada, banyak petani di Hanura beralih ke tanaman coklat dan kopi. Mereka tidak bisa bertahan dengan tanaman lada, karena didesak kebutuhan keluarga.
Sri, petani lada lainnya di Desa Gebang, Teluk Pandan, Pesawaran mengaku terpaksa beralih ke tanaman kopi, lantaran harga lada tidak menjanjikan beberapa tahun terakhir. Menurut dia, berkebun lada sepertinya tidak balik modal, apalagi untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan anak sekolah. “Sulit kalau hanya mengandalkan jual lada,” tuturnya.
Menurut perhitungan dia, berkebun lada baru dapat menghasilkan untuk keluarga bila harganya di atas Rp 100 ribu hingga Rp 150 ribu per kg. Tetapi, dua tahun terakhir, harga lada mentok di Rp 50 ribu per kg. Ia tidak tahu kenapa harga tersebut rendah, padahal daerah ini produsen lada.
Harga lada makin anjlok terjadi Kecamatan Melinting, Kabupaten Lampung Timur. Menurut Fitri, petani lada Desa Wana, Melinting, harga lada anjlok hingga kisaran Rp 20 ribu – Rp 25 ribu per kg. Petani lada di desanya sudah bisa dihitung dengan jari, karena harga berkebun lada tidak sebanding dengan pengeluaran. “Banyak yang tidak lagi berkebun lada, mereka beralih ke coklat atau jagung,” tutur Fitri.
Ia masih berkebun lada karena kebun warisan nenek dan orangtuanya. Kebun ladanya juga sekarang sudah diselingi tanaman lain. Ia masih optimistis harga lada dapat berubah lebih baik ke depan, karena komoditas lada di kampungnya sejak zaman dulu terkenal dan harganya tinggi.
Harga lada di Kecamatan Melinting sempat menyentuh Rp 150 ribu per kg pada dua tahun lalu. Petani lada saat itu dapat dikatakan lagi senang-senangnya. Namun, ketika harga lada tidak berubah di bawah Rp 50 ribu per kg, warga banyak beralih ke tanaman lain atau pedagang dan juga banyak yang menjadi buruh harian lepas.
Petani lada di Pekalongan, Lampung Timur juga mengalami nasib serupa. Harga lada di Pekalongan sekarang Rp 40 ribu per kg, sebelumnya masih menyentuh Rp 50 ribu per kg. Petani lada di tempat tersebut juga sebagian sudah beralih profesi sebagai petani tanaman lain dan pedagang, karena tuntutan kebutuhan keluarga.
Kepala Dinas Perkebunan dan Peternakan Lampung Dessy Desmaniar Romas pernah menyatakan, anjloknya harga lada di Indonesia terutama di Lampung karena mutu komoditas andalan Lampung tersebut mengalami penurunan, karena faktor cuaca. Dampak lain, karena lada asal Vietnam menguasai pasar global.
Ia mengatakan untuk meningkatkan kualitas lada asal Lampung, pihaknya telah mencanangkan penyiapan bibit baru yang unggul dan pencegahan penyakit tanaman lada petani.
Menurut dia, komoditas lada sebagai andalan dan unggulan Provinsi Lampung semakin lama semakin tergerus dengan merosotnya harga lada dunia. Padahal, produksi lada di Lampung terbesar nasional dan menjadi kebanggaan masyarakat Lampung sejak zaman kolonial.