Senin 28 Jan 2019 16:32 WIB

Pemerintah Optimistis Ekspor Baja Meningkat

Peluang ekspor produk baja Indonesia semakin membesar seiring dengan terbukanya pasar

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolanda
Penjual menata kubah masjid yang terbuat dari bahan stainless steel di Jakarta, Selasa (30/6).  (Republika/Prayogi)
Foto: Republika/Prayogi
Penjual menata kubah masjid yang terbuat dari bahan stainless steel di Jakarta, Selasa (30/6). (Republika/Prayogi)

EKBIS.CO,  JAKARTA -- Kementerian Perindustrian (Kemenperin) optimistis ekspor baja dari Indonesia akan terus meningkat. Salah satu faktor pendukungnya, pabrik baja stainless steel di kawasan industri Morowali yang masih memiliki ruang ekspansi.

Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika (ILMATE) Kemenperin Harjanto mengatakan, di Morowali, total kapasitas produksi smelter nickel pig iron dapat mencapai 2 juta ton per tahun dan 3,5 juta ton stainless steel per tahun. "Nilai ekspornya mencapai 2 miliar dolar AS pada tahun 2017 dan naik menjadi 3,5 miliar dolar AS di 2018," katanya melalui siaran pers, Senin (28/1).

Harjanto menargetkan, kawasan tersebut mampu menghasilkan 4 juta ton baja nirkarat atau stainless steel per tahun serta memiliki pabrik baja karbon berkapasitas 4 juta ton per tahun. Apabila produksi stainless steel tercapai 4 juta ton per tahun, Indonesia dapat menjadi produsen kedua terbesar di dunia atau setara produksi di Eropa.

Harjanto menambahkan, peluang ekspor produk baja Indonesia semakin membesar seiring dengan terbukanya pasar tujuan. Khususnya, di Cina, Asia Tenggara, dan negara-negara yang membuat perjanjian bilateral dengan Indonesia.

Dengan kondisi ini, Harjanto menilai, Kemenperin terus memacu pengembangan industri baja. Ia menyebutkan, industri baja sebagai sektor hulu, disebut juga mother of industries. "Sebab, industri ini berperan penting untuk memasok kebutuhan bahan baku dalam mendukung proyek infrastruktur dan menopang kegiatan sektor industri lainnya," katanya. 

Selain ekspor, Harjanto menjelaskan, pihaknya juga fokus mengarahkan pada pengembangan produk yang bernilai tambah tinggi untuk kebutuhan domestik. Misalnya untuk memenuhi kebutuhan sektor otomotif, perkapalan maupun perkeretaapian, sehingga impor tidak lagi dibutuhkan.

Menurut catatan Kemenperin, Harjanto mengungkapkan, terjadi peningkatan ekspor produk baja dari Indonesia terutama produk stainless steel slab serta stainless steel HRC (hot rolled coil). "Lonjakan ekspor yang paling mencolok hampir tiga kali lipat adalah stainless steel HRC. Kemudian stainless steel slab hampir dua kali lipat," ujarnya.

Ekspor stainless steel slab tumbuh dari 302.919 ton pada 2017 menjadi 459.502 ton selama Januari-September 2018. Sedangkan, stainless steel HRC melonjak dari 324.108 ton menjadi 877.990 ton pada periode yang sama.

Selain itu, dengan penerbitan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 110 tahun 2018 tentang Ketentuan Impor Besi atau Baja, Baja Paduan, dan Produk Turunannya, diharapkan dapat menekan impor besi dan baja, terutama produk baja karbon. Regulasi ini turut diharapkan mampu meningkatkan ekspor stainless steel dan mengecilkan defisit neraca perdagangan di sektor ini.

Mengenai pemberlakuan Permendag 110 tahun 2018, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto optimistis bahwa industri baja di Indonesia semakin kuat dan mandiri. Selain itu impor bisa dikurangi sehingga bisa memacu ekspor dan memicu terjadinya surplus perdagangan baja.

Airlangga menilai, ketersediaan baja impor yang sembarangan masuk ke Indonesia menjadi penyebab utama industri baja mengalami idle. "Melalui Permendag tersebut, pemerintah berupaya menertibkan, sehingga utilisasinya dapat ditingkatkan," tuturnya.

Pengaturan pengawasan ini utamanya disebabkan terjadinya pengalihan Harmonized System (HS) dari produk baja karbon menjadi alloy steel. Airlangga mengatakan, kebanyakan produk impor adalah baja karbon untuk konstruksi yang seharusnya dikenakan bea masuk 10 sampai 15 persen. Tetapi, karena pihak pengimpor menambah lapisan material boron dan chrome, baja karbon tersebut beralih menjadi alloy steel

Produk alloy steel sendiri dikenai bea masuk rendah, yaitu nol sampai lima persen. Kondisi ini menyebabkan produk impor dijual dengan harga sama atau bahkan lebih rendah dibandingkan buatan dalam negeri.

Melalui revisi Permendag, Airlangga mengatakan, pemerintah dan pihak terkait dapat melakukan pencegahan sejak dini terhadap baja impor yang hendak masuk ke Indonesia. "Kemarin itu kan di post border dan sekarang kembali lagi ke border," katanya.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement