EKBIS.CO, BEKASI -- Diversifikasi produk ekspor terus dilakukan. Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan, salah satu yang memiliki potensi besar adalah tempe. Ia berencana bertemu dengan Gabungan Koperasi Tahu Tempe Indonesia (Gakoptindo) untuk membicarakan rencana ini.
Apabila terlaksana, Enggar mengatakan, ini akan menjadi pertama kalinya Indonesia mengekspor tempe. Kini, pihaknya masih mencari teknologi pangan yang tepat agar tempe dapat tahan lama ketika sampai di negara tujuan. "Kami akan dorong ke sana," ucapnya ketika ditemui di Cikarang, Bekasi, Kamis (31/1).
Enggar optimistis, tempe Indonesia akan dengan mudah diterima oleh negara lain. Sebab, rasanya cenderung mudah diterima lidah banyak orang. Selain itu, industri dalam negeri yang sudah memenuhi secara kualitas dan kuantitas diyakini mampu mendorong pencapaian ekspor tempe secara maksimal.
Ketua Umum Gakoptindo Ayip Syarifudin menjelaskan, pihaknya sudah memiliki contoh-contoh tempe yang siap untuk diekspor. Para pelaku usaha yang tergabung dalam koperasi juga sudah memperoleh standardisasi dari pemerintah sebagai syarat utama untuk ekspor. "Baik itu untuk produk maupun proses produksinya," ujarnya saat dihubungi Republika.co.id.
Ayip menilai, anggota Gakoptindo sebenarnya sudah pernah ekspor tempe ke sejumlah negara seperti Hong Kong dan Korea Selatan. Hanya saja, ekspor baru dilakukan sesuai permintaan dan sporadis atau belum tertata dengan baik dalam kuantitas sekitar satu kontainer per bulan.
Ayip berencana menemui Enggar dan tim Kemendag lain pada pekan depan untuk meminta bantuan terkait akses pasar di luar negeri. Dengan keterlibatan dari pemerintah, ia berharap tempe-tempe racikan Gakoptindo semakin mudah masuk ke pasar internasional. "Kami punya target, 50 kontainer atau 2.000 ton per bulan," ucapnya.
Selama ini, Ayip menjelaskan, pihaknya baru mendapatkan bantuan dari Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dari segi pembinaan mengenai kemasan. Anggota juga mendapatkan pendampingan hingga mendapatkan SNI yang baru diperoleh pada Januari ini. Misal, saat mengolah kedelai menjadi tempe, petugas harus menggunakan sarung tangan, masker dan sebagainya.
Perangkat teknologi pengawetan juga telah diberikan, namun masih belum maksimal. Sebab, beberapa produk sempat mengalami penurunan kualitas saat masih dalam perjalanan. "Saat ini, hanya bisa bertahan tiga sampai enam bulan. Nantinya, diharapkan, dapat sampai tahunan," ujarnya.
Ayip optimistis, anggotanya dapat menjamin kuantitas dan kualitas tempe secara berkelanjutan jika pemerintah dapat memfasilitasi ekspor. Apalagi, Gakoptindo sudah terbilang piawai dalam memenuhi kebutuhan tempe dan tahu dalam negeri.
Ayip menunjuk kawasan Timur Tengah dan Arab Saudi sebagai tujuan utama ekspor tempe. Penyebabnya, dua negara tersebut banyak terdapat tenaga kerja Indonesia (TKI). Selain bisa menjadi konsumen, mereka dapat ‘dimanfaatkan’ sebagai distributor atau tim pemasaran, membantu kerja Indonesia Trade Promotion Center (ITPC) Kemendag di tiap negara.
Banyaknya orang Indonesia yang umrah dan haji menjadi alasan lain Ayip menaruh harapan besar pada Arab Saudi. Per tahun, lebih dari 1 juta orang umrah ke sana dan 200 ribu orang per tahun melakukan umrah. "Jumlah tersebut potensi besar bagi kami," tuturnya.
Selama ini, Gakoptindo dapat mengolah 2,5 juta ton kedelai per tahun. Sebanyak 65 persen di antaranya untuk tempe dan 35 persen diolah menjadi tahu. Ayip menjelaskan, pihaknya baru bisa fokus ke tempe karena cenderung lebih mudah diolah dan dikemas.
Ayip mencatat, produksi tahu dan tempe pada tahun 2018 bertambah sekitar 3 persen dibandingkan hasil produksi tahun 2017 yang mencapai 2,5 juta ton. Untuk tahun ini, ia memprediksi, pertumbuhan produksi pada level yang sama.
Senada dengan Enggar, Ayip optimistis tempe Indonesia dapat diterima di pasar internasional mengingat tempe merupakan salah satu produk pangan sudah populer di berbagai benua.