EKBIS.CO, JAKARTA -- Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto optimistis industri pengolahan kakao di dalam negeri akan mampu menghasilkan produk kompetitif di pasar domestik hingga ekspor. Apalagi, Indonesia sebagai negara penghasil kakao terbesar ketiga di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana.
"Sebanyak 81 persen produk yang dihasilkan industri olahan kakao di dalam negeri, telah diekspor ke berbagai negara berupa produk cocoa liquor, cocoa cake, cocoa butter, dan cocoa powder," katanya melalui siaran pers, Selasa (12/2).
Sepanjang 2018, ekspor produk cocoa butter dan cocoa powder, masing-masing mengalami peningkatan sebesar 14,13 persen dan 12,28 persen dibanding periode yang sama pada 2017. Neraca perdagangan produk kakao olahan masih surplus pada 2018, dengan total nilai ekspor menembus angka 1,12 miliar dolar AS.
Pengembangan hilirisasi industri pengolahan kakao diarahkan untuk menghasilkan bubuk cokelat, lemak cokelat, makanan dan minuman dari cokelat, suplemen dan pangan fungsional berbasis kakao, serta kebutuhan untuk kosmetik dan farmasi.
Produk cocoa butter Indonesia mempunyai karakteristik yang berbeda dari negara produsen Afrika, yaitu tingkat free fatty acid (FFA) yang rendah dan melting point yang tinggi. Hal ini membuat cocoa butter Indonesia lebih berdaya saing dibanding negara lain, khususnya sebagai kebutuhan di sektor industri kosmetik dan farmasi.
Indonesia menempati posisi sebagai eksportir cocoa butter terbesar kedua dunia dengan pangsa ke pasar global. Pangsa pasar Indonesia sebesar 13,43 persen, setelah negara Belanda yang mempunyai pangsa hingga 26,42 persen.
Saat ini, Kemenperin memacu pangsa produk cocoa powder Indonesia ke pasar global, agar lebih kompetitif dibanding Belanda, Malaysia dan Jerman. Apalagi ketiga negara tersebut, bukan produsen kakao. Hal ini yang menjadi peluang bagi Indonesia.
Di samping itu, Kemenperin telah mengusulkan tarif bea keluar untuk biji kakao menjadi flat 15 persen guna memberikan jaminan pasokan bahan baku bagi industri pengolahan kakao nasional. Saat ini pajak ekspor yang diterapkan terhadap komoditas tersebut bersifat progresif sekitar 0-15 persen bergantung harga biji kakao dunia.
"Kami juga berharap, dengan tarif flat dapat menjaga keseimbangan antara pajak yang dikenakan atas transaksi lokal maupun ekspor. Usulan ini akan kami bahas dengan Kementerian Keuangan," ujarnya.
Airlangga menambahkan, pihaknya telah memfasilitasi pembentukan unit-unit pengolahan industri kakao yang dapat menumbuhkan wirausaha baru skala kecil dan menengah. Selain itu, pelaksanaan program bantuan mesin dan peralatan pengolahan kakao.
Industri pengolahan kakao mempunyai peranan penting dalam peningkatan perekonomian nasional. Oleh karena itu, pemerintah telah menetapkan Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) 2015-2035, yang menyebutkan bahwa industri pengolahan kakao termasuk salah satu sektor prioritas yang harus dikembangkan.