EKBIS.CO, JAKARTA -- Menteri Pariwisata Arief Yahya menilai, pekerjaan rumah terbesar Indonesia untuk mendorong pertumbuhan wisata halal adalah deklarasi di tiap daerah. Saat ini, baru tiga daerah yang berani menyatakan diri sebagai destinasi wisata halal atau ramah Muslim, yakni Nusa Tenggara Barat, Aceh dan Sumatera Barat. Ia mendorong daerah lain untuk melakukan hal serupa.
Arief menjelaskan, deklarasi diri tersebut dibutuhkan untuk menunjukkan kepada dunia mengenai jati diri dan keunggulan masing-masing daerah. Upaya ini akan memberikan efek pemasaran yang tinggi, terutama di pasar internasional. "Sebagian malu untuk deklarasikan diri sebagai destinasi halal, padahal tidak apa," ujarnya ketika ditemui dalam konferensi pers Peluncuran Indonesian Muslim Travel Index 2019 di Gedung Kemenpar, Jakarta, Rabu (13/2).
Selain branding halal pada masing-masing daerah, Arief menambahkan, pekerjaan rumah lainnya adalah pelayanan. Meski Indonesia merupakan negara mayoritas Muslim, bukan berarti pelancong yang ingin melakukan wisata halal langsung memilih Indonesia sebagai destinasi. Mereka akan tetap mencari negara dengan layanan terbaik seperti Thailand dan Singapura.
Berdasarkan kriteria ACES (Access, Communications, Environment and Services) yang dirilis Global Muslim Travel Index (GMTI), 90 persen di antaranya berhubungan dengan layanan umum atau tidak terkait langsung dengan unsur syariah. Oleh karena itu, Arief mengajak pemerintah daerah dan industri untuk tidak hanya fokus pada layanan serba halal. "Siapa yang memberikan pelayanan terbaik, dia akan memenangkan persaingan," katanya.
Kemenpar menetapkan dua target terkait wisata halal pada tahun ini. Pertama, Indonesia berada di peringkat pertama sebagai destinasi pariwisata paling ramah terhadap wisatawan muslim dunia versi GMTI. Pada tahun lalu, Indonesia sudah menduduki peringkat kedua, melampaui Uni Emirat Arab.
Target kedua, pertumbuhan wisata halal mencapai angka tertinggi sekitar 42 persen yang dilihat berdasarkan jumlah kunjungan wisman halal tourism dunia ke Indonesia. Pada 2019, Arief menargetkan 5 juta kunjungan wisman halal tourism atau sekitar 25 persen dari target kunjungan 20 juta wisman pada tahun ini. "Angka ini naik 42 persen dibandingkan 2018 yang mencapai 3,5 juta orang," ucapnya.
Arief melihat, peluang Indonesia mencapai target tersebut sangat besar mengingat jumlah wisatawan muslim dunia tahun 2020 diproyeksikan mencapai 158 juta dengan pertumbuhan sekitar enam persen dan total pembelanjaan 220 miliar dolar AS. Pertumbuhan tersebut diharapkan terus meningkat menjadi 300 miliar dolar AS pada 2026.
Sementara itu, Ketua Tim Percepatan Pengembangan Pariwisata (TP3) Halal Kemenpar Anang Sutono mengatakan, kekuatan pariwisata halal Indonesia terletak pada kesiapan destinasi untuk menjadi tujuan kunjungan wisatawan muslim global. "Destinasi harus memenuhi kebutuhan spesifik mereka saat melakukan perjalanan wisata," ujarnya.
Adanya persyaratan tambahan spesifik akan pemenuhan kebutuhan sebagai Muslim saat berwisata, yang disebut pariwisata halal, mengakibatkan keinginan destinasi untuk dapat dipilih sebagai destinasi tujuan berwisata menjadi lebih berat.
Guna memberikan insight kepada destinasi wisata, Kemenpar mengadakan Bimbingan Teknis, Workshop dan Launching IMTI yang diikuti 10 destinasi unggulan pariwisata halal. Yakni, Aceh, Riau dan Kepulauan Riau, Sumatera Barat, DKI Jakarta, Jawa BArat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Lombok dan Sulawesi Selatan. Mereka diajak untuk mengenali kekuatan dan kelemahan berdasarkan kriteria standar pariwisata halal global.
Anang mengatakan, pemahaman stakeholder destinasi terhadap standar global pariwisata halal penting untuk memberikan keyakinan dan kepercayaan diri dalam pengelolaan dan pengembangan destinasi.