EKBIS.CO, JAKARTA -- Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati meminta kepada para pelaku usaha tanah air untuk terus meningkatkan daya saing di pasar global. Permintaan tersebut seiring kondisi neraca perdagangan Indonesia yang masih mengalami defisit.
Sri mengatakan, Kementerian Keuangan telah memberikan berbagai fasilitas fiskal untuk memacu sektor industri, termasuk sektor industri yang telah memiliki orientasi terhadap ekspor. Fasilitas tersebut di antaranya melalui tax holiday, tax allowance, serta fasilitas kawasan berikat dan kemudahan impor untuk tujuan ekspor yang membeaskan biaya perpajakan dan kepabeanan.
“Harus ada mindset kompetitif, kalau tarif-tarif di Indonesia sudah makin turun, seharusnya jarak antara pasar dalam negeri dan ekspor itu hampir tidak ada bedanya,” kata Sri di Kementerian Keuangan, Senin (18/2).
Namun, mengacu pada Badan Pusat Statistik (BPS), neraca perdagangan ekspor-impor Indonesia sepanjang tahun 2018 mengalami defisit sebesar 8,5 miliar dolar AS. Defisit terjadi akibat nilai impor yang lebih besar ketimbang nilai ekspor yang dihasilkan sepanjang tahun. Padahal, setahun sebelumnya, neraca perdagangan Indonesia mampu menghasilkan surplus hingga 11,84 miliar dolar AS.
Defisit pun kemudian berlanjut pada Januari 2019. Tercatat, Indonesia mengalami defisit perdagangan sebesar 1,16 miliar dolar AS. Nilai impor menembus 15,028 miliar dolar AS sedangkan ekspor hanya mencapai 13,87 miliar dolar AS.
“Fakta bahwa kita masih mengimpor banyak, berarti para pengusaha kita di dalam negeri pun dia tidak kompetitif,” kata Sri.
Sri mengingatkan, Indonesia merupakan negara terbesar di kawasan ASEAN. Oleh sebab itu, semestinya minimal sektor industri mampu menciptakan pasar domestik yang kompetitif. Namun, pada kenyataannya, masih banyak industri yang belum bisa meningkatkan jangkauan pasar secara baik.
Di sisi lain, ia meminta kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) untuk terus memperbaiki berbagai fasilitas fiskal yang dibutuhkan para pelaku usaha. Sri mengatakan, DJBC juga harus mampu berkompetisi dengan berbagai fasilitas bea cukai yang diberikan di negara lain. Sebab, menurut Sri, tanpa adanya perbaikan, mudah saja bagi perusahaan untuk memindahkan investasi di negara lain.
“Kita minta bea cukai jemput bola untuk berikan pemahaman ke pengusaha terkait berbagai fasilitas yang ada sehingga mereka mampu melakukan aktivitas ekspor,” ujar Sri.
Seperti diketahui, salah satu fasilitas fiskal yang diberikan pemerintah melalui kawasan berikat (KB) dan kemudahan impor untuk tujuan ekspor (KITE) tercatat memberi kontribusi terhadap kinerja ekspor pada tahun 2017. Hal itu berdasarkan hasil riset terakhir yang dilakukan oleh DJBC bersama Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) dan University Network for Indonesia Export Development (UNIED).
Tercatat, 1.606 pelaku industri yang menggunakan fasilitas KB-KITE mampu menghasilkan nilai ekspor sebesar sebesar Rp 780,83 triliun atau 34,37 persen dari total ekspor nasional. Jumlah tersebut meningkat dibanding kontribusi fasilitas KB-KITE terhadap nilai ekspor sepanjang tahun 2016 yang mencapai Rp 737,7 triliun.
Hasil riset tersebut juga menunjukkan bahwa pelaku industri berani untuk hengkang dari Indonesia jika fasilitas KB-KITE dicabut dari Indonesia. “Kami akan gunakan semua instrumen. Entah pajak, bea cukai, anggaran belanja dan pembiayaan, hingga regulasi untuk membantu para pelaku usaha,” tutur dia.