Kamis 21 Feb 2019 19:58 WIB

Agri Watch: HPP Jagung Harus Dikoreksi

Agri Watch berasalan harga pasaran kini sudah lebih tinggi dari HPP

Rep: Adinda Pryanka / Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Produksi jagung meningkat bahkan untuk 2019, pemerintah siap melakukan ekspor.
Produksi jagung meningkat bahkan untuk 2019, pemerintah siap melakukan ekspor.

EKBIS.CO, JAKARTA -- Presidium Agri Watch Dean Novel menilai, pemerintah harus mengkaji kembali mengenai pemberlakuan Harga Pokok Penjualan (HPP) jagung di tingkat petani. HPP yang diberlakukan sesuai Peraturan Kementerian Perdagangan (Permendag) Nomor 58 Tahun 2018 Tentang Penetapan Harga Acuan Pembelian di Petani dan Harga Acuan Penjualan di Konsumen tidak efektif dalam menyerap produksi lokal.

Sebab, harga di pasaran sudah lebih tinggi dari HPP, sehingga petani lebih memilih menjual hasil panen ke pihak lain dibandingkan pemerintah melalui Bulog. Harga acuan pembelian di petani dalam Permendag adalah Rp 3.150 per kilogram untuk kadar air 15 persen, sedangkan di pasaran sudah mencapai lebih dari Rp 3.500 per kilogram. 

Baca Juga

Selain itu, perbedaan harga menurut kadar air dalam Permendag cenderung membingungkan. Dean menganjurkan kepada pemerintah untuk memberlakukan floor price atau harga dasar saja. "Patokannya pakai jagung kering," katanya dalam acara diskusi Data Jagung yang Bikin Bingung di Gedung Kemenko Perekonomian, Jakarta, Kamis (21/2). 

Dean memberikan contoh, harga dasarnya adalah Rp 4.000 per kilogram (kg) untuk jagung kering. Apabila harga di pasaran sudah di bawah itu, pemerintah harus membeli jagung petani dengan harga Rp 4.000 per kilogram. Upaya ini akan membantu serapan jagung yang ditargetkan pemerintah mencapai 250 ribu ton.

Selain HPP, Dean menyebutkan, permasalahan utama tentang komoditas strategis jagung di Indonesia adalah metode produksi jagung. Sampai saat ini, pertanian jagung masih menerapkan konsep menanam secara bersama-sama. Dampaknya, masa panen jagung hanya terfokus pada musim panen yang biasa terjadi antara Maret sampai Mei. 

Kebiasaan tersebut menyebabkan terjadi kesenjangan antara masa produksi dengan yang dibutuhkan pasar. Ketika masa panen jagung hanya terjadi pada waktu tertentu, kebutuhan masyarakat terhadap jagung terus terjadi. "Bottle neck-nya di sini," ujar Dean. 

Dean menjelaskan, puncak panen di Indonesia yang terjadi pada Maret sampai Mei tidak memiliki hubungan dengan program pemerintah. Tapi, mayoritas lahan di Indonesia adalah lahan kering, sehingga jagung harus ditanam saat musim hujan, yakni September sampai Desember. Dalam kurun waktu 17 pekan, jagung baru dapat dipanen. 

Kondisi ini akan merugikan petani. Sebab, saat panen raya, tidak ada yang bisa menampung produksi mereka. Satu kabupaten seperti Dompu saja, mampu menghasilkan 300 ribu ton jagung per sekali panen. "Sedangkan, kapasitas gudang swasta rata-rata tidak sampai 100.000 ton karena besarnya modal dan waktu pembuatan yang lama," ucap Dean. 

Apabila proses penanaman masih berdasarkan musim, Dean menilai, panen raya justru akan menjadi momok besar bagi petani. Khususnya di luar Jawa Timur, di mana 47 persen pabrik pakan berada di sana dengan gudang yang besar. Masa kekosongan stok akan terus terjadi jika tidak ditangani dengan serius. 

Salah satu solusi yang dapat diterapkan petani adalah sustainable farming. Caranya, Dean menjelaskan, petani dapat menanam secara bergantian. Baik itu per daerah, per provinsi atau per kabupaten, sesuai dengan kesesuaian musim dengan karakter tanah di tiap daerah. "Jadi, tidak ada lagi tanam serempak dan panen raya," tuturnya. 

Pembenahan proses tanam jagung diharapkan mampu membenahi produksi dalam negeri. Sebab, menurut peneliti dari Visi Teliti Saksama, Nanug Pratomo, produksi jagung lokal masih sulit mengejar tingkat kebutuhan permintaan domestik. 

Nanug mencatat, produksi dalam negeri hingga 2029 diperkirakan mencapai 30 juta ton. Sedangkan, permintaan domestik mencapai 50 juta ton. "Untuk jangka pendek, mungkin bisa diatasi oleh impor," ujarnya. 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement