EKBIS.CO, JAKARTA -- Ekonom dari Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menilai, potensi gagal bayar utang pemerintah Amerika Serikat (AS) pasti memberikan dampak terhadap ekonomi Indonesia. Baik itu di sektor keuangan maupun sektor riil.
Bhima menjelaskan, dolar AS mendominasi setidaknya 90 persen dari total valuta asing. Artinya, ketika ada gejolak ketidakmampuan AS membayar utang jatuh tempo, berpotensi menyebabkan instabilitas sektor keuangan secara global. "Tidak terkecuali Indonesia," ujarnya ketika dihubungi Republika.co.id, Kamis (28/2).
Menurut Bhima, rupiah berpotensi melemah atau mengalami depresiasi. Di sisi lain, kondisi ini akan mendorong bank sentral Amerika Serikat Federal Reserve (The Fed) untuk menaikkan kembali suku bunga acuan. Oleh karena itu, Bank Indonesia (BI) harus melakukan hal serupa untuk mencegah arus modal keluar.
Bhima menjelaskan, dunia dapat memasuki fase krisis baru. Fase ini bahkan bisa saja lebih besar dibanding dengan krisis di tahun 1998, 2008 maupun 2013 dan 2014, ketika terjadi krisis utang di Eropa.
Dampak lainnya, investor akan melakukan evaluasi portofolio yang berisiko dan cenderung bermain aman. Artinya, ada koreksi di bursa saham dan investor cenderung masuk ke aset aman seperti emas maupun valas lain seperti Yen.
Apabila dibiarkan terus, Bhima cemas, akan berimplikasi negatif terhadap pasar modal dalam negeri. Likuiditas mengetat yang diiringi dengan dorongan asing untuk menjual atau melepas saham di pasar modal negara berkembang. "Ini harus segera diantisipasi," tuturnya.
Di sektor riil, ekonomi AS yang menunjukan indikasi mengalami resesi atau krisis akan menghambat laju ekspor Indonesia. Ekspor bahan baku dari industri dalam negeri ke Paman Sam semakin sulit setelah menghadapi hambatan masa perang dagang.
Kondisi tersebut memungkinkan kinerja ekspor pada tahun ini dapat kembali melambat. Bahkan, Bhima memproyeksikan, pertumbuhannya dapat turun di bawah enam persen. Yang lebih dicemaskan adalah dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi. "Bisa saja di bawah lima persen," ucapnya.
Banyak antisipasi yang harus dilakukan pemerintah dalam mengatasi gejolak politik di internal AS, kebijakan fiskal trump dan ketidakstabilan ekonomi global ini. Khususnya dalam memperkuat koordinasi stabilitas keuangan, terutama antara BI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Terlebih, utang AS juga sudah menjadi fokus Gubernur The Fed Jeremy Powell.
Sementara itu, Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Iskandar Simorangkir menilai, potensi AS untuk gagal membayar utang sangat kecil. Sebab, sebagai pusat keuangan dunia, Amerika cukup menerbitkan bond atau surat utang. "Investor akan tetap datang berbondong-bondong," ujarnya.
Sebelumnya, nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada Rabu (27/2) sore, terkoreksi 38 poin menjadi Rp 14.030 per dolar AS dari sebelumnya Rp 13.992 per dolar AS. Pelemahan rupiah ini terjadi di tengah potensi gagal bayar utang oleh pemerintah AS.