EKBIS.CO, JAKARTA - Pengamat ekonomi Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi menilai keputusan pemerintah untuk menangguhkan pungutan ekspor minyak kelapa sawit merupakan kebijakan yang tepat. Kebijakan ini pun dianggap dapat menjadi insentif bagi pelaku usaha guna meningkatkan produksi mereka.
"Untuk mengantisipasi dampak defisit yang makin melebar maka diberi insentif untuk bisa melakukan ekspor. Salah satunya dengan menahan pungutan ekspor ini. Itu kebijakan yang cukup tepat," kata Fithra di Jakarta, Sabtu (2/2).
Fithra menjelaskan selama ini kelapa sawit terutama CPO masih menjadi komoditas unggulan ekspor Indonesia yang perlu didukung melalui pemberian insentif agar produksi dalam negeri tidak terganggu.
Untuk itu, pengajar Fakultas Ekonomi UI ini menilai upaya penangguhan pungutan dana itu telah mempertimbangkan volatilitas harga komoditas tersebut di pasar internasional dan ekspor yang belum tumbuh optimal.
"Bisa mengurangi setidaknya beban bagi pelaku usaha terkait sawit. Ini bisa menjadi insentif bagi mereka untuk berproduksi," kata Fithra.
Meski demikian, kebijakan itu tidak dapat segera memberikan hasil secara langsung kepada peningkatan nilai ekspor karena terdapat faktor lain yang menghambat yaitu lesunya permintaan dari negara tujuan ekspor.
Untuk mengatasi persoalan ini, menurut Fithra, pemerintah telah melakukan berbagai upaya guna membuka pasar baru yang potensial melalui misi perdagangan.
"Dengan adanya hambatan yang makin tinggi dari negara mitra, memang tidak bisa (ekspor) berkembang pesat secara signifikan dalam waktu dekat," ujarnya.
Sebelumnya, pemerintah melalui rapat koordinasi terbatas pada Kamis (28/2) memutuskan untuk menangguhkan pungutan ekspor sawit yang dikelola oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Hal itu dilakukan karena harga aktual untuk CPO di pasar internasional berada pada kisaran 545 dolar AS per ton atau di bawah batas pungutan 570 dolar AS per ton sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 152/PMK.05/2018.