EKBIS.CO, JAKARTA -- Sektor ritel diproyeksikan menjadi kekuatan baru bagi perekonomian Indonesia. Tahun ini, pemerintah mengeluarkan 10 SBN untuk individu Indonesia dengan lima di antaranya menggunakan skema syariah. Fiturnya dibuat sedemikian rupa sehingga sangat menarik bagi investor ritel.
Fitur itu di antaranya imbal hasil yang lebih baik dari instrumen investasi setaraf, pembelian yang dimudahkan dengan sistem daring, dan minimal pembeliannya yang minim menjadi Rp 1 juta. Semakin tinggi frekuensi penerbitan akan menjadi ajang pembelajaran.
Peningkatan jumlah sukuk juga karena melihat preferensi masyarakat dan keinginan memperdalam pasar keuangan syariah. Pemerintah menargetkan 20-30 persen hasil pendapatan SBN berasal dari instrumen syariah.
Kepala Divisi Pasar Modal Syariah Bursa Efek Indonesia, Irwan Abdalloh mengatakan penerbitan sukuk hingga lima kali tahun ini adalah kejutan besar. Empat di antaranya adalah sukuk tabungan (non-tradeable) dan satu sukuk ritel (tradeable) yang terbit 1 Maret lalu. Artinya, kata dia, pemerintah pun serius menggarap segmen ritel.
"Karena memang, potensi paling besar itu ada di ritel kita," kata dia, beberapa waktu lalu.
Kalangan individu menjadi senjata paling ampuh untuk meningkatkan pendalaman pasar. Direktur Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA), Wahyu Trenggono sepakat bahwa geliat investor ritel terus membaik setelah banyak inovasi di sana sini.
Wahyu mengatakan dari sisi imbal hasil, instrumen sukuk pun telah mengalami banyak kemajuan. Secara historis, imbal hasil berbanding terbalik dengan keamanan atau pun kualitas instrumen pendanaan. Semakin besar return maka instrumen tersebut dianggap semakin berisiko.
Indonesia pernah menerbitkan sukuk dengan imbal hasil 12 persen. Investor harus diiming-imingi dengan keuntungan yang besar dulu agar mau membeli. Sehingga semakin rendah return yang ditawarkan, maka instrumen tersebut dinilai semakin aman dan berkualitas.
"Yield sukuk itu terpantau terus turun dari tahun ke tahun, artinya ia semakin baik," kata Wahyu.
Imbal hasil obligasi bisa lebih rendah dari sukuk yakni berada di kisaran 5-6 persen. Meski demikian, capaian penjualannya masih bisa lebih besar daripada sukuk. Wahyu mengatakan pasar obligasi sudah lebih mapan sementara sukuk masih berkembang.
Ia menilai sukuk masih perlu banyak inovasi dan literasi. Masyarakat dan industri juga perlu edukasi lebih jauh. Contoh, pasar sekunder sukuk saat ini masih sepi karena tidak banyak pemain. Akibatnya, harga sukuk di pasar sekunder sering kali jatuh.
Wahyu menilai perlu ada insentif dari pemerintah agar lebih banyak issuer dan buyer baik di pasar primer maupun sekunder. Selain itu, kurangnya edukasi juga membuat sukuk korporasi masih belum banyak diminati.
Sebagian besar beralasan penerbitan sukuk berisiko dan rumit. Padahal, Sekretaris Bidang Pasar Modal Badan Pelaksana Harian Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) Mohammad Bagus Teguh Perwira mengatakan penerbitan sukuk sudah cukup sederhana. Ia mengatakan biasanya yang menjadi ganjalan bagi korporasi adalah underlying asset dan biaya konsultasi syariah.
Menurutnya, kini ketentuan underlying asset sudah beragam. DSN MUI telah mengeluarkan fatwa sejumlah akad sukuk yang dapat disesuaikan dengan kondisi korporasi.
Menurut data OJK, sukuk korporasi per Januari berada di level outstanding Rp 22,55 triliun dengan jumlah 109 sukuk. Sementara akumulasi penerbitan sejak diterbitkan yakni Rp 37,38 triliun dengan jumlah 185 sukuk.
Selain itu, biaya konsultasi kesesuaian syariah pun masih kompetitif jika dibandingkan dengan capaian penerbitan sukuk. Teguh menyampaikan semua pihak memang perlu bekerja sama agar tren positif pengembangan instrumen syariah bisa terus berlanjut.
Wahyu berpendapat, ia yakin di masa mendatang sukuk bisa sejajar dengan obligasi. Dengan semakin banyaknya aset pemerintah yang dibiayai oleh sukuk, maka kolam underlying asset akan semakin besar dan potensi penerbitan akan terus bergulung.
"Secara historis, yield sukuk menurun terus menunjukkan instrumen ini semakin baik, aman dan kompetitif," kata dia.
Di samping itu, penentuannya juga berdasar pada kondisi pasar. Jika melihat dari proyeksi 2019, Wahyu mengatakan selalu ada kecenderungan penurunan return dari SBN pada tahun pemilu. Ia menduga ini akan terjadi juga pada instrumen-instrumen pendanaan pemerintah tersebut.