EKBIS.CO, JAKARTA -- Realisasi defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2019 sampai dengan bulan Februari mencapai Rp 54,61 triliun atau 0,34 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Nominal tersebut sedikit lebih tinggi dibanding dengan defisit anggaran periode yang sama tahun lalu, yakni Rp 48,3 triliun atau 0,33 persen terhadap PDB. Nilai defisit keseimbangan primernya pun melebar, dari Rp 13,88 triliun pada 2018 menjadi Rp 20,56 triliun di tahun ini.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, poin belanja dan pendapatan negara pada Februari mengalami kenaikan dibanding dengan capaian Januari. Tapi, defisit anggaran disebabkan pertumbuhan belanja negara lebih cepat dibanding dengan pendapatan. "Ini tetap konsisten, meski posisinya sedikit flat karena penerimaan tahun lalu memang sedikit lebih melonjak," ujarnya dalam konferensi pers APBN KiTa di Kantor Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Jakarta, Selasa (19/3).
Menurut catatan Kemenkeu, pertumbuhan penerimaan negara pada Februari tumbuh 8,21 persen atau lebih cepat dibanding dengan Januari yang hanya 6,2 persen. Sementara itu, belanja negara pada Februari tumbuh 9,15 persen, atau lebih lambat dibandingkan Januari 2019 yang mencapai 10,3 persen.
Secara rinci, realisasi pendapatan negara mencapai Rp 217,21 triliun per 28 Februari 2019. Total tersebut mencapai 10,03 persen dari target APBN 2019, yakni Rp 2.165,1 triliun. Sementara itu, dari sisi belanja, nominalnya mencapai Rp 271,82 triliun atau sudah mencapai 11,04 persen dari target belanja dalam APBN 2019, yakni Rp 2.461 triliun.
Sri mengatakan, ekonomi makro di Indonesia masih akan sangat dinamis. Khususnya, terkait proyeksi pelemahan global, di mana banyak negara mengalami pelemahan ekonomi. Oleh karena itu, ia memastikan, pemerintah akan terus mewaspadai dari pelaksanaan APBN 2019 yang berasal dari risiko global tersebut. "Kami masih tetap konsisten menjaga penurunan defisit keseluruhan dan keseimbangan primer," tuturnya.
Sri menambahkan, pemerintah juga sudah merealisasikan rencana pembiayaan tahun ini yang cukup agresif. Karena pemerintah ingin antisipasi kenaikan suku bunga dan mengambil kesempatan dalam situasi pasar yang positif, pembiayaan besar atau front loading dilakukan. Sampai hari ini, Kemenkeu mencatat, terdapat kelebihan pembiayaan hingga Rp 143 triliun.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Suahasil Nazara mengatakan, ekonomi global setidaknya memberikan pengaruh dari tiga faktor. Pertama, pertumbuhan ekonomi negara besar seperti Amerika Serikat dan Cina. Dilihat beberapa waktu belakangan, ekonomi kedua negara ekonomi terbesar itu cenderung flattening. Hal ini pasti akan memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi lain dan permintaan ekspor Indonesia yang juga berdampak pada penerimaan bea keluar.
Kedua, inflasi global. Suahasil menjelaskan, apabila negara ekonomi besar mengalami inflasi yang tinggi, mereka akan membuat kebijakan, terutama menaikkan suku bunga. Beberapa proyeksi memperkirakan, bank sentral Amerika The Fed akan menaikkan suku bunga satu hingga dua kali lagi. "Ini impact ke kita, policy rate seperti apa," ucapnya.
Suahasil menambahkan, dampak terhadap APBN adalah suku bunga obligasi dan item lain. Termasuk di antaranya perkembangan sektor perbankan, penerimaan pajak dan sebagainya. Ia memastikan, pemerintah akan tetap mewaspadai segala efek yang akan terjadi dan membuat rencana kebijakannya.
Apabila melihat global, harga komoditas juga berpengaruh seperti batu bara dan kelapa sawit. Maka itu, Suahasil menuturkan, pemerintah terus membuat dan memastikan untuk memantaunya secara detail, sehingga dapat terlihat efek terhadap penerimaan dari bulan ke bulannya. "Kita akan pantau dan ketahui, komponen mana yang patut diwaspadai dan sebagainya," ucapnya.