EKBIS.CO, JAKARTA -- Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono menjelaskan, tuduhan deforestasi Uni Eropa terhadap crude palm oil (CPO) atau kelapa sawit perlu dilihat dari dua aspek pemahaman. Yakni berdasarkan pemahaman dan aturan antara yang dianut Food Agricultue Organisation (FAO) dengan yang dianut oleh pemerintah Indonesia.
Menurutnya, definisi deforestasi oleh FAO hanya mengacu pada foto citra satelit yang menggambarkan perubahan penggunaan lahan dari hijau ke coklat di peta. Acuan tersebut tanpa memerinci profil serta fungsi lahan secara basis pendataan yang sesuai dengan aturan di suatu wilayah. Sementara Indonesia, kata dia, menganut paham deforestasi yang mengacu pada basis pemahaman hutan melalui undang-undang yang berlaku.
Berdasarkan Undang Undang nomor 41 tahun 1999, kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya. “Sekarang justru, Mahkamah Konstitusi sudah menetapkan bahwa yang disebut dengan hutan itu tidak boleh lagi ditunjuk, tapi harus ditetapkan. Artinya, harus diukur dulu luas lahannya, lahan apa itu, dan lain sebagainya,” kata Joko, di Jakarta, Rabu (27/3).
Artinya, kata dia, profil lahan sawit yang ada di Indonesia mayoritasnya telah melalui legalitas yang sah, yang sesuai dengan peraturan yang ada. Sementara dalam aturan perundang-undangan, ketentuan penggunaan lahan dibedakan dari ketentuan kawasan hutan maupun bukan kawasan hutan.
Gapki mencatat perkebunan kelapa sawit di seluruh dunia hanya menggunakan 17,32 juta hektare. Jumlah tersebut hanya 6 persen dari total luas lahan perkebunan minyak nabati dunia seluas 278,2 juta hektare.
Berdasarkan data tersebut, Ketua Umum Gapki Joko Supriyono membantah bahwa perkebunan kelapa sawit menjadi penyebab utama deforestasi, seperti yang dituduhkan Uni Eropa. Faktanya, komoditas minyak nabati lainnya, seperti kedelai menggunakan lahan lebih banyak dari kelapa sawit.
"Sekitar 17 juta hektare lahan sawit dari 278 juta hektare kebun minyak nabati. Kalau dibilang sawit the main cause of deforestation, ini justru sumbangan terhadap minyak nabati lebih besar dari kedelai yang menggunakan 110 juta hektare lahan," kata Joko.
Ada pun produksi minyak nabati dunia mencapai 205,9 juta ton yang terdiri dari berbagai komoditas, seperti sunflower (bunga matahari), rapeseed, soybean (kacang kedelai) dan kelapa sawit.
Joko memaparkan bahwa kelapa sawit merupakan komoditas paling efisien dalam penggunaan lahan, yakni dari lahan seluas 17,32 juta hektare, menghasilkan 56,65 juta ton atau menyumbang 40 persen dari total produksi minyak sawit global.
Sementara itu, minyak nabati dari kacang kedelai menghasilkan 48,23 juta ton dari luasnya lahan 110,36 hektare. Namun demikian, menurut Joko, kedelai tidak pernah dituding sebagai penyebab deforestasi oleh Uni Eropa.
Di sisi lain, permintaan dunia terhadap minyak nabati terus meningkat. Minyak kelapa sawit diyakini dapat memenuhi gap permintaan tersebut dengan kebutuhan lahan hanya 1,5 juta hektare per tahun pada 2025, sedangkan kacang kedelai membutuhkan 15 juta hektare per tahun.
Joko menambahkan bahwa penurunan fungsi lahan tidak hanya terjadi untuk minyak nabati, tetapi juga untuk peternakan atau grazing land seluas 400 juta hektare. Di Indonesia sendiri, perkebunan sawit mencapai luas 14 juta hektare atau sebesar 7 persen dari total daratan di Indonesia seluas 129 juta hektare.