EKBIS.CO, JAKARTA -- Pengembangan QRIS akan memungkinkan penggunaannya di luar negeri yang menganut standar dari EMVCo. Sejumlah negara yang telah mengadopsi standar ini adalah Thailand, Singapura, juga India.
Sementara, beberapa waktu lalu standar QR dari Cina telah lebih dulu masuk melalui WeChat Pay dan Alipay. Bank Indonesia menilai permasalahan dengan kedua penyelenggara jasa sistem pembayaran (PJSP) asing ini sudah hampir selesai.
Deputi Direktur Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran (DKSP) Ricky Satria menyampaikan BI telah melakukan konsolidasi dengan mereka. Sesuai peraturan BI, mereka hanya bisa beroperasi jika sudah bekerja sama dengan Bank BUKU IV yang akan bertindak sebagai acquiring bank.
"Kita panggil dan berdiskusi dengan mereka sebanyak kira-kira empat kali, kita bahas bagaimana proses kerja samanya hingga selesai," kata dia di Kompleks BI, Jakarta, Kamis (4/4).
Menurutnya, penyelesaian akhir diharapkan bisa selesai pada tahun ini. Mulai dari proses komersil bisnis dan teknis yang harus mulus. Selain teknis juga proses hukumnya. Ricky menambahkan juga ada tambahan konversi mata uang yang terus dikembangkan.
Sehingga penggunanya hanya bisa turis asal Cina. Dari sisi BI, proses tersebut mengandung unsur nasionalisme sehingga pemerintah bisa mendapat devisa pariwisata karena transaksi mereka harus melalui bank domestik.
Asisten Gubernur Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran (DKSP) BI, Filianingsih Hendarta menyampaikan sebenarnya pada awalnya Cina tertutup dalam sistem QR. Pasalnya, jumlah penduduk pengguna dengan sistem closed loop saja sudah berjumlah 1,7 miliar.
Sehingga mereka sudah cukup meraup untung. Namun demikian, dengan berkembangnya pariwisata, Cina akhirnya mulai melirik untuk ekspansi dan memungkinkan untuk membuka jaringan.
Hal ini juga yang dapat meningkatkan potensi devisa karena turis-turis dari negara lain sudah lebih terbiasa dengan pembayaran melalui QR. Seperti Cina, Thailand, dan India yang sudah melakukannya sejak 2017 dan 2018. Tingkat pembayaran non tunai di sana telah melebihi 60 persen sementara Indonesia masih di bawah 50 persen.