EKBIS.CO, JAKARTA -- Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto menuturkan, uji coba penggunaan metodologi Kerangka Sampel Area (KSA) untuk menghitung data produksi jagung akan dimulai bulan depan. Saat ini, BPS di berbagai provinsi sedang melaksanakan pelatihan terhadap petugas yang akan turun lapang. Di antaranya di Lampung dan Kalimantan Timur.
Tapi, Suhariyanto menjelaskan, pihaknya belum bisa menetapkan target penyelesaian data produksi jagung dengan metode KSA. Sebab, pola penanaman jagung cenderung menyebar dan dapat diselipkan oleh komoditas lain. Hal ini berbeda dengan padi yang memiliki pola hamparan. "Meskipun sama-sama menggunakan KSA, akan ada perlakuan berbeda," katanya ketika ditemui Republika.co.id di kantornya, Senin (15/4).
Suhariyanto memastikan BPS akan terus melakukan diskusi dengan sejumlah pihak yang bertanggung jawab atas uji coba metode KSA terhadap jagung. Lembaga itu di antaranya Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional serta Badan Informasi Geospasial (BIG).
Berkaca dari padi, BPS membutuhkan waktu merilis data luas lahan baku sawah, panen dan produksi beras hingga tiga tahun. Oleh karena itu, dengan pola penanaman jagung yang lebih rumit, tidak menutup kemungkinan pengumpulan data dapat memakan waktu tahunan.
Dari uji coba yang mulai dilakukan bulan depan, Suhariyanto menjelaskan, timnya akan melakukan evaluasi pada akhir tahun. Evaluasi akan melibatkan kajian lain yang masih terkait dengan pendataan jagung. "Jadi, mungkin, masih panjang jalannya," ucapnya.
Sementara itu, Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Assyifa Szami Ilman menilai, pembenahan data jagung merupakan sebuah urgensi. Sebab, data komoditas yang tidak akurat atau berbasiskan metode ilmiah dapat menjadi penyebab tidak tercukupinya kebutuhan jagung melalui impor. Padahal, data seharusnya menjadi acuan utama ketika impor akan dilakukan.
Sebagai salah satu komoditas pangan strategis, Ilman mengatakan, ketersediaan dan kestabilan harga jagung sangat penting. Komoditas ini menyangkut ketersediaan dan kestabilan harga komoditas lainnya yaitu ayam dan telur dan juga industri yang menjadikan keduanya sebagai bahan baku utama.
Ketika data salah, Ilman menambahkan, maka kebijakan yang dikeluarkan menjadi tidak efektif. Salah satu contoh dimana data pangan Indonesia tidak akurat dan berpengaruh terhadap kebijakan Indonesia adalah pada tahun 2015. "Saat itu, pemerintah memutuskan untuk membatasi impor dengan alasan suplai jagung mencukupi," katanya, beberapa waktu lalu.
Begitu impor jagung ditutup, Ilman menambahkan, para pengusaha beralih untuk mengimpor gandum sebagai pengganti jagung. Dengan begitu, pada tahun tersebut, nilai impor gandum jadi meningkat. Padahal, sederhananya, ketika data Kementerian Pertanian (Kementan) sudah benar, seharusnya tidak ada pengalihan penggunaan komoditas seperti ini.
Koreksi data tidak hanya berdampak sebagai dasar pengambilan kebijakan impor, juga kebijakan lain yang dikeluarkan Kementan termasuk bentuk subsidi. Apabila setelah koreksi data terbukti bahwa produksi jagung tidak sebanyak yang dilaporkan oleh Kementan, maka mereka harus mengubah mekanisme subsidi yang diberlakukan saat ini. "Misalnya penerapan klasifikasi pasar pada skema subsidi benih jagung hibrida lewat UPSUS," ujar Ilman.