EKBIS.CO, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menilai, pertumbuhan ekonomi Indonesia sampai akhir tahun ini masih berkisar di antara 5,2 sampai 5,3 persen. Asalkan, kinerja ekspor dan impor masih seimbang dengan neraca perdagangan yang menunjukkan surplus.
Darmin menjelaskan, pertumbuhan ekonomi tahun ini juga akan terus didongkrak seiring dengan pembangunan infrastruktur yang masih berjalan. Menurutnya, dari 223 proyek infrastruktur strategis yang masuk dalam program pemerintah, baru 64 sampai 65 proyek selesai.
"Artinya, masih terus dibangun. Selama pembangunan masih berjalan terus, akan membantu mendongkrak pertumbuhan ekonomi," katanya ketika ditemui usai menggunakan hak suaranya di TPS 20 Kelurahan Pancoran, Jakarta Selatan, Rabu (17/4).
Selain infrastruktur, Darmin menyebutkan, konsumsi rumah tangga juga memberikan pengaruh signifikan. Sebab, Indonesia memiliki jumlah penduduk yang mencapai 264 juta orang pada tahun 2017. Mereka mampu menggerakkan roda konsumsi domestik yang secara langsung berkontribusi atas kestabilan pertumbuhan ekonomi Indonesia, meskipun prediksi ekonomi global menunjukkan perlambatan.
Sebelumnya, Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global pada 2019 ini dari 3,5 persen menjadi 3,3 persen. Tidak hanya untuk negara berkembang seperti Indonesia, perlambatan pertumbuhan ekonomi juga dialami oleh negara maju seperti Cina maupun Amerika Serikat.
Darmin menambahkan, unsur-unsur utama dari pertumbuhan ekonomi pada dasarnya adalah investasi, konsumsi rumah tangga dan ekspor impor. Untuk poin terakhir, ia mengakui, tidak terlalu positif bagi Indonesia. Penyebabnya, perlambatan ekonomi dunia yang menyebabkan sektor perdagangan juga melambat sehingga sulit untuk berharap kinerja ekspor impor mampu membantu pertumbuhan ekonomi.
Untuk investasi, Darmin menjelaskan, Indonesia masih memiliki pertumbuhan yang baik, yakni di antara 6,7 hingga tujuh persen. Begitupun dengan konsumsi rumah tangga yang bergerak antara lima sampai 5,1 persen.
"Selama ekspor dan impor tidak ‘menarik ke bawah’ ya kita akan dapat bertahan di angka 5,2-5,3 persen," tuturnya.
Terkait neraca dagang pada kuartal pertama, Darmin menilainya sebagai kinerja yang masih positif, meskipun masih mengalami defisit 193,4 juta dolar AS. Sebab, bulan Februari dan Maret masih menunjukkan surplus masing-masing 330 juta dolar AS dan 540 juta dolar AS.
Darmin mengakui, perbaikan neraca dagang akan terus menjadi pekerjaan rumah dan prioritas bagi pemerintah. Pasalnya, para pengambil keputusan di pasar dan pengusaha sekarang lebih banyak mengikuti persoalan neraca dagang selain inflasi dan data lain. Menurut mereka, neraca dagang merupakan permasalahan jangka pendek yang dapat menentukan perkembangan bisnis ke depan.
Untuk mengatasi permasalahan neraca dagang, Darmin menyebutkan, kuncinya adalah ekspor. Ada beberapa poin yang harus diperhatikan untuk ekspor. Pertama, ketersediaan barang dan sistem produksinya di dalam negeri. "Kalau kita ingin barang A dikirim, tapi produksi tidak bisa disiapkan dengan cepat atau butuh investasi lagi, ya bakal lama (hasilnya)," ujarnya.
Poin berikutnya adalah pasar. Darmin menegaskan, meski suatu barang yang layak ekspor sudah mampu diproduksi industri Indonesia, kesiapan negara tujuan untuk menerima produk kita harus diperhatikan. Tidak hanya itu, penyesuaian antara kebutuhan dan preferensi negara tujuan ekspor dengan barang yang diproduksi juga menjadi bagian dari fokus pemerintah.
Tapi, Darmin mengakui, dampak dari peningkatan kinerja ekspor ini tidak akan memberikan efek ke pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam jangka waktu pendek. "Mungkin dua sampai tiga tahun mendatang," tuturnya.