EKBIS.CO, JAKARTA -- Kementerian Pariwisata menargetkan sektor pariwisata Indonesia mampu menghasilkan devisa 17,6 miliar dolar AS atau melampaui devisa dari sawit yang selama ini terbesar. Menteri Pariwisata, Arief Yahya, mengatakan, sektor pariwisata Indonesia dalam beberapa tahun terakhir mengalami pertumbuhan yang positif.
“Tahun 2018 sektor pariwisata tumbuh 13 persen. Ini jauh lebih tinggi dari pertumbuhan pariwisata di kawasan Asean yang hanya 7 persen,” Arief dalam Siaran Pers, Senin (29/4).
Melihat prospek pertumbuhan yang masif, Arief menargetkan sektor pariwisata bisa menjadi penghasil devisa terbesar dengan angka proyeksi 17,6 miliar dolar AS. Angka tersebut mengalahkan rata-rata devisa ekspor minyak sawit (CPO) per tahun sebesar 16 miliar dolar AS per tahun.
“Kalau target pencapaian 20 juta wisman pada 2019 belum tercapai, dengan penghasilan devisa pariwisata akan jadi nomor satu, melebihi CPO yang kini devisanya 16 miliar dolar," katanya menambahkan.
Arief juga menyampaikan untuk mencapai target tersebut, Kementerian Pariwisata memiliki tiga strategi pada 2019. Yaitu pengembangan pemasaran, pengembangan destinasi, dan peningkatan sumber daya manusia sektor pariwisata.
Ia mengklaim, khusus pada bidang pemasaran, 70 persen telah menggunakan digital. Sebab, diketahui saat ini sekitar 70 persen wisatawan dunia sudah menggunakan digital dalam mencari destinasi wisata.
Terkait pengembangan destinasi, ia menegaskan pemerintah Indonesia sudah menetapkan 10 destinasi prioritas. Dari 10 destinasi, sebanyak empat destinasi telah ditetapkan menjadi destinasi super prioritas yang akan dipercepat pengembangannya, yaitu, Danau Toba, Borobudur, Mandalika, dan Labuan Bajo.
“Untuk SDM, pada 2019 kami targetkan ada 500 ribu orang yang tersertifikasi level ASEAN,” ujarnya.
Dalam mengejar target pencapaian devisa tersebut, ia mengakui tentu ada tantangan yang harus di hadapi dari dalam negeri.
Tantangan tersebut yakni terkait kebijakan tarif di industri penerbangan yang akan berkorelasi langsung dengan sektor pariwisata. Pihaknya pun berharap kepada para maskapai penerbangan di Indonesia untuk menerapkan harga fleksibel.
Menurut dia, jika harga tiket untuk penerbangan domestik naik, secara otomatis akan berpengaruh pada permintaan tiket. Turunnya jumlah permintaan tiket tersebut kemudian bisa berdampak pada sektor pariwisata di Indonesia.
“Kalau ingin menaikan tarif jangan langsung besar dan mendadak. Sesuatu yang mendadak dan besar dampaknya relatif tidak bagus apalagi kalau itu kenaikan harga suatu barang atau jasa. Jadi kalau mau naik 100 persen proyeksikan saja naiknya secara bertahap,” ujarnya.