EKBIS.CO, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, pernah dagang antara Amerika dengan China yang semakin memanas akan berdampak pada semakin lambatnya pertumbuhan ekonomi dunia. Hal ini mampu memicu kekhawatiran sejumlah negara, tidak terkecuali Indonesia.
Darmin mengatakan, saat ini situasi ekonomi global sudah mencapai titik keseimbangan baru yang penuh dengan tekanan, tapi dianggap normal. Kondisi ini dapat membaik apabila kedua negara sudah mampu menyelesaikan masalahnya. "Kalau tidak, ya akan ada tekanan bagi dunia, tidak hanya bagi Indonesia," ujarnya ketika ditemui usai acara Forum Musyawarah Rencana Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) 2019 di Hotel Shangri La, Jakarta, Kamis (9/5).
Saat ini, Darmin mengatakan, pasar dunia sedang menantikan perkembangan terbaru dalam perang tarif antar kedua negara. Apalagi, dalam waktu dekat, perwakilan China dikabarkan akan melakukan langkah diplomasi dengan berkunjung ke Amerika.
Tapi, Darmin tidak dapat menyebutkan mengenai dampak keputusan tersebut terhadap Indonesia. Yang pasti, ekonomi dunia sedang melambat dan akan lebih memburuk apabila perang tarif diberlakukan.
Untuk mengantisipasi dampak negatif ke Indonesia, Darmin memastikan, pemerintah dan pengusaha harus memiliki langkah signifikan, terutama tentang ekspor. "Ekspor terus didorong sembari terus perluasan pasar," ujarnya.
Ancaman perang dagang antara Amerika Serikat dengan China kembali mewarnai perdagangan global. Hal ini dipicu oleh pernyataan Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada awal pekan ini mengenai ancaman kenaikan tarif bagi China. Ancaman kenaikan tarif ini memunculkan adanya eskalasi ketegangan antara kedua negara yang berperan besar pada perekonomian dunia.
Sebelumnya, ada indikasi meredanya perang dagang tersebut melalui beberapa pertemuan dan negosiasi yang dilaksanakan kedua negara. Namun, hal ini berubah dengan pernyataan Donald Trump yang ingin menerapkan tarif pada barang dari China yang bernilai 200 miliar dolar AS pada Jumat mendatang.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Assyifa Szami Ilman menyampaikan, pemerintah sebaiknya perlu bersiap-siap menghadapi kemungkinan perang dagang yang kembali terjadi. Sebab, penerapan tarif antar kedua negara berakibat pada berubahnya pola konsumsi masyarakat China. "Bisa dikatakan, produk-produk ekspor kita di China dapat berpotensi menjadi lesu performanya," kata Ilman dalam rilis yang diterima Republika, Kamis (9/5).
Saat ini, China merupakan mitra dagang terbesar Indonesia dengan nilai perdagangan sebesar 27,1 miliar dolar AS. Sementara itu, ada di posisi ketiga adalah Amerika Serikat dengan nilai perdagangan sebesar 18,5 miliar dolar AS.
Salah satu upaya yang harus dilakukan adalah mendukung industri manufaktur berbasis ekspor agar lebih kompetitif di pasar internasional. "Penguatan ini perlu dilakukan supaya dapat menangkap peluang dari perang dagang ini dengan menjadi alternatif pilihan bagi dua negara tersebut sebagai sumber pasokan barang mentah," tutur Ilman.
Dukungan ini dapat dimulai dengan memberikan pelonggaran sementara atau permanen terhadap barang-barang yang masih menghadapi restriksi seperti bea ekspor. Tujuannya, agar harga barang ekspor di pasar internasional lebih kompetitif.
Namun, Ilman mengingatkan, Indonesia perlu mendorong peningkatan nilai jual produk ekspor tersebut. Insentif bagi pelaku usaha untuk melakukan ekspor produk olahan yang memiliki nilai jual lebih tinggi. Selanjutnya, dapat diberikan melalui skema keringanan kewajiban seperti keringanan pajak, baik itu bersifat temporer maupun permanen.