EKBIS.CO, JAKARTA – Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rusli Abdullah menilai, pemerintah harus kembali mempertimbangkan wacana menunda pelaksanaan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) untuk tetap melanjutkan beras sejahtera (rastra). Sebab, program BPNT memungkinkan penerima bantuan memiliki keleluasaan diversifikasi pilihan pangannya.
Rusli menjelaskan, program rastra sendiri memiliki beberapa permasalahan. Di antaranya beras yang diberikan kepada penerima bantuan adalah kualitas rendah.
"Bahkan, banyak di antara mereka menjual kembali berasnya," ujarnya ketika dihubungi Republika, Ahad (12/5).
Konsep tersebut tidak akan ditemukan dalam BPNT. Penerima bantuan diberikan sejumlah nominal dalam bentuk kartu yang dapat dibelikan sesuai kebutuhan mereka. Misalnya, beras jagung yang dikombinasikan telur atau sumber protein lain.
Rusli menilai, rencana pemerintah untuk melakukan BPNT dengan suplai beras dari Perum Bulog juga belum tentu dapat memaksimalkan penyerapan mereka. Sebab, kualitas Perum Bulog diketahui masih sulit bersaing dengan beras komersil lainnya.
Rusli menambahkan, wacana pemerintah menghentikan BPNT dan melanjutkan rastra adalah salah satu quick win agar penyerapan beras Bulog dapat maksimal. Tapi, kebijakan tersebut tidak sepatutnya mudah berubah. "Bulog harusnya bisa menyalurkan beras sendiri, tidak dapat berserah ke rastra semata," tuturnya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menuturkan, pemerintah memiliki wacana untuk menghentikan sementara Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) dan mengembalikan program beras sejahtera (rastra). Upaya ini dilakukan guna memaksimalkan penyerapan cadangan beras Perum Bulog.
Menurut Darmin, wacana tersebut sudah sempat dibahas dalam rapat terbatas bersama Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebelum Ramadhan. Saat itu, Presiden Jokowi meminta kepada jajarannya untuk mencari cara agar penyerapan Bulog tetap berjalan sampai mereka siap menghadapi peralihan ke BPNT. "Bagaimana supaya rastra itu (kembali), BPNT-nya ditunda dulu," ujarnya ketika ditemui di kantornya, Jakarta, Jumat (10/5).
Tapi, Darmin menambahkan, kini pemerintah tengah mencari cara agar kedua program tetap dapat dijalankan. Sementara Bulog tetap dapat menyerap beras dan menyalurkan, penyaluran BPNT juga terus berjalan.
Darmin mengatakan, salah satu alternatif yang sempat muncul adalah masyarakat penerima BPNT diwajibkan membeli beras kepada Bulog. Namun, alternatif ini mungkin sulit berlaku di Indonesia Timur karena membutuhkan ongkos yang mahal. "Kalau di Jawa gini, mustinya tidak (mahal), sehingga dapat disuplai dengan beras Bulog," ucapnya.
Sejak ada program BPNT, tugas Bulog sebagai penyalur rastra menjadi hilang yang berdampak output dan pangsa pasar mereka berkurang. Sebab, dalam program Rastra, Bulog langsung menyalurkan beras ke kelompok penerima manfaat kartu keluarga sejahtera (KKS). Sedangkan, pada BPNT, penyaluran beras langsung itu diganti menjadi uang dalam kartu yang diberikan pemerintah.
Pada 2015, Bulog diketahui dapat menyalurkan 230 ribu ton per bulan atau 3 juta ton setiap tahun. Kini, stok beras Bulog yang sudah di atas 2 juta ton masih tersimpan di gudang dan harus segera disalurkan guna menghindari penurunan kualitas.
Menurut catatan Perum Bulog, per April, total serapan beras petani baru mencapai 400 ribu ton. Total tersebut masih sekitar 22 persen dari target yang ditetapkan, yakni 1,8 juta ton sampai akhir tahun. Bulog optimistis, target dapat tercapai mengingat aktivitas panen yang masih terus berjalan di beberapa daerah.