EKBIS.CO, JAKARTA -- Pergerakan nilai tukar rupiah terhadap mata uang dolar AS terus menunjukkan tren pelemahan. Pada pekan lalu, sejak 13 Mei hingga 16 Mei 2019, bahkan terjadi capital outflow atau keluarnya modal asing hingga Rp 11,3 triliun, berdasarkan laporan Bank Indonesia.
Analis menyebut, kondisi ini sebagai respons negatif atas berbagai laporan kondisi ekonom makro Indonesia. "Dilihat dari data-data makro ekonomi domestik, kurang memenuhi ekspektasi pasar. Tentunya pelemahan rupiah ini respons negatif terhadap kalender ekonomi domestik," kata Analis Pasar Modal Binaartha Sekuritas, Nafan Aji, kepada Republika.co.id, Ahad (19/5).
Nafan memerinci, laju pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang kuartal I 2019 sebesar 5,07 persen. Angka itu jauh di bawah ekspektasi pasar yang memperkirakan pertumbuhan dapat mencapai 5,18-5,2 persen.
Sementara itu, defisit neraca perdagangan pada April 2019 menembus 2,5 miliar dolar AS, mengalahkan rekor defisit terbesar Indonesia pada Juli 2013 lalu yang mencapai 2,3 miliar dolar As. Laporan negatif selanjutnya datang dari kondisi cadangan devisa (cadev) dari Bank Indonesia.
Posisi Cadev pada April 2019 sebesar 124,3 miliar dolar AS, turun tipis dibanding cadev per Maret 2019 yang mencapai 124,5 miliar dolar AS. Terakhir, defisit transaksi berjalan atau Current Account Defisit (CAD) pada kuartal I 2019 mencapai 6,97 miliar dolar AS atau setara 2,6 persen terhadap PDB. CAD itu masih lebih tinggi dibanding kuartal I 2018 sebesar 5,5 miliar AS atau sekitar 2,1 persen dari PDB.
Nafan mengatakan, pelaku pasar secara umum bukan merasa kurang puas dengan perkembangan ekonomi Indonesia. Hanya saja, berada di bawah ekspektasi positif terhadap Indonesia.
Di sisi lain, saat ini merupakan periode musim pembayaran dividen. Mereka yang menikmati dividen dari pasar modal di Indonesia kebanyakan dari investor asing yang memegang mata uang dolar.
Meski demikian, Nafan menekankan, pemicu terjadinya capital outflow yang berimbas pada pelemahan nilai tukar rupiah tidak hanya berasal dari domestik. Namun, juga menjadi bagian dari dampak ketegangan pasar global.
"Faktor eksternal masih perang dagang yang membuat dolar AS terapresiasi terhadap mata uang di dunia. Ini membuat demand terhadap dolar As memingkat," ujarnya.
Tahun depan, Amerika Serikat bakal menggelar pemilihan presiden. Nafan mengatakan, jika Trump kembali terpilih, maka kebijakan AS di sektor ekonomi kemungkinan akan tetap seperti kondisi saat ini. Karena itu, pertemuan pemimpin negara-negara G20 yang akan berlangsung di Osaka, Jepang pada 22 Juni mendatang diharapkan memunculkan suatu kesepakatan antara AS dan Cina untuk mengehentikan perang dagang.
"Lalu juga ada forum-forum multilateral lain yang dapat diusahakan untk mencapai perdamaian. Dinamika forum-forum tersebut setidaknya bisa meredam perang dagang," kata dia.