EKBIS.CO, JAKARTA – Guru Besar kelautan dan perikanan IPB, Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri MS mengatakan, pertumbuhan ekonomi 7 persen sangat mungkin untuk dicapai. Salah satu caranya adalah memaksimalkan pembangunan di sektor kelautan dan perikanan.
Ia mengemukakan hal tersebut saat tampil sebagai salah satu nara sumber dalama acara dialog kebangsaan dan buka puasa bersama dalam rangka Harkitnas yang diadakan oleh Majelis Nasional KAHMI di KAHMI Center Jakarta, Ahad (19/5).
Dialog kebangsaan yang mengusung tema “Harkitnas: globalisasi, tantangan demokrasi dan pembangunan ekonomi” itu juga menampilkan nara sumber Prof Dr R Siti Zuhro MA (peneliti LIPI dan presidium Majelis Nasional KAHMI), dan Dr Fajar Harry Sampurno (deputi Pertambangan, Industri Strategis dan Media Kemeneg BUMN RI). Dialog kebangsaan itu dibuka Koordinator Presidium Majelis Nasional KAHMI, Dr Hamdan Zoelva SH, MH.
Dalam dialog kebangsaan itu, Rokhmin Dahuri mengupas topik “Pembangunan ekonomi kelautan sebagai pemerkuat daya saing Indoneia”. Siti Zuhro membahas topik “Tantangan demokrasi pasca Pilpres 2019”. Sementara itu, Fajar
Harry Sampurno mengangkat topik “Peran strategis dan penguatan BUMN dalam pembangunan nasional: peluang dan tantangan, regional dan global”.
Rokhmin menegaskan, sesunggguhnya Indonesia dengan potensi sumber daya alam yang dimiliki bisa tumbuh 7 persen. “Melalui dialog kebangsaan ini, KAHMI ingin memberikan semangat kepada pemerintahan yang baru, siapapun yang terpilih, bahwa tumbuh 7 persen dari perspektif sektor ekonoki riil itu mudah sekali,” ujarnya.
Ia menjelaskan, di bidang kelautan dan perikanan ada 11 sektor yang bsia dikembangkan. Nilai ekonominya sekitar 1,4 triliun dolar AS. Jumlah ini hampir 1,5 kali lipat ukuran ekonomi (PDB) Indonesia saat ini, yakni 1 triliun dolar AS. Adapun tenaga kerja yang bisa diserap sekitar 45 juta orang.”jadi, tidak ada pengangguran lagi, kalau ekonomi kelautan atau maritim dikembangkan dengan baik dan sungguh-sungguh,” ujarnya.
Ia mencontohkan, potensi nilai ekonomi tambak udang Vanamei. Indonesia punya lahan yang cocok untuk budidaya udang Vanamei, seluas 3 juta ha. Misalkan, Indonesia memanfaatkan sekitar 500 ribu ha, dengan produktivitas rata-rata 40 ton per ha per tahun. Kalau 500 ribu ha, berarti produksinya 20 juta ton per tahun. Atau 20 miliar kilo. Harga udang rata-rata 50 ekor per kilo itu 5 dolar per kilo, maka 100 miliar dolar. “PDB kita 1 trilun dolar AS, berarti dari sektor udang saja sudah menyumbang 10 persen,” tuturnya.
Jadi, kalau mulai tahun 2020 Indonesia menggarap tambak udang seluas 100 ribu ha per tahun, insyaAllah sangat mudah. Indonesia punya 34 provinsi. Jumlah 100 ribu ha dibagi 34 provinsi, maka per provinsi hanya sekitar 3.000 ha. Ini mudah sekali.
Kalau 100 ribu ha per tahun, berarti tiap tahun, sektor kelautan, dari udang saja, sudah menyumbang PDB dua persen.
Jadi kalau ekonomi kelautan dikelola dengan profesional, dengan manajemen yang baik, inovasi teknologi yang baik, keseimbangan ekologi, dan rantai bisnis yang bersambung, insya Allah ekonomi tumbuh 7 persen itu sangat mudah sekali,” papar Rokhmin Dahuri.
Fajar Harry Sampurno mengupas peran strategis yang dimainkan oleh BUMN, khususunya perekonomian nasional. “Sejak empat tahun terakhir, BUMN telah menjadi tangan kanan APBN. BUMN menggerakkan ekonomi kita,” tuturnya.
Ia juga menegaskan, selama empat tahun terakhir, tidak ada satu pun BUMN yang dijual. “Yang terjadi justru sebeliknya, beberapa BUMN membeli atau mengakuisisi beberapa perusahaan multinasional yang beroperasi di Indonesa,” ujarnya.
Siti Zuhro menggariskan pentingnya riset (R & D). “Tidak ada negara yang maju tanpa keberpihakan pemerintah kepada riset,” ujarnya seraya menambahkan, anggaran riset Indonesia masih sangat rendah.