EKBIS.CO, JAKARTA – Kebutuhan konsumsi cabai Indonesia diprediksi akan meningkat seiring dengan bertambahnya populasi penduduk berkisar 3,2 juta orang per tahun. Penggunaan alternatif konsumsi cabai seperti cabai kering disuarakan petani guna menghindari jatuhnya harga di kala musim panen berlalu.
Mayoritas konsumsi masyarakat Indonesia memang masih cenderung menggunakan cabai segar ketimbang cabai kering. Adalah Sudrajat yang menjabat sebagai Wakil Ketua Umum Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) mengatakan, penggunaan cabai segar masih mendominasi bumbu-bumbuan masakan yang ada di restoran.
“Kalau kita lihat dari sisi masakan Indonesia saja, cabai punya peran vital dalam masakan,” kata Sudrajat saat dihubungi Republika, akhir pekan kemarin.
Tingginya penggunaan cabai segar oleh restoran dinilai Sudrajat sebagai jawaban terhadap permintaan pelanggan. Dia menyebut, secara kualitas cabai segar memang sebanding dengan cabai kering, namun secara kualitas rasa terdapat perbedaan yang cukup terasa.
Perbedaan tersebut, kata Sudrajat, berada di kedalaman rasa pedas antara cabai kering dengan cabai segar. Menurut dia, cabai segar memiliki rasa pedas yang lebih kuat dibanding cabai kering.
Kendati begitu, dia menjabarkan, kalangan restoran juga sudah memulai menggunakan cabai kering sebagai bahan baku masakan, utamanya restoran kelas menengah ke atas yang biasa menggunakan cabai kering berupa olahan atau bubuk. Meski sudah mulai menggunakan cabai bubuk, jumlah restoran tersebut disebut tidak terlalu signifikan dalam memanfaatkan penyerapan cabai kering petani.
“Alasannya lagi-lagi, cabai segar masih diminati banyak kalangan pelanggan,” kata dia.
Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2018, sebagian besar usaha penyediaan makanan bertempat di kawasan mal, pertokoan, dan perkantoran sebesar 70,58 persen. Sedangkan di wilayah lainnya seperti kawasan wisata berkisar 6,64 persen, dan kawasan industri, hotel, dan permukiman berkisar 22,96 persen.
Berdasarkan statistik tersebut, dari sektor penyedia makanan berskala menengah yang berskala tempat duduk rata-rata 88 unit, jumlah porsi makanan yang terjual sebanyak 3.000 porsi per bulan.
Artinya, dia menilai, kebutuhan konsumsi cabai juga berpengaruh dalam statistik tersebut.
"Karena hampir mayoritas penyedia makanan baik itu restoran maupun tempat makan berskala apapun, memasukkan cabai sebagai salah satu bahan baku utama di dalam menu maupun produk yang mereka sediakan atau jual," tuturnya.
Jika penggunaan cabai kering belum masif digalakkan, dia berharap ada sosialisasi dari pemerintah menyuarakan peningkatan cabai kering kepada masyarakat. Pihaknya mengaku bersedia menggunakan cabai kering asal permintaan konsumen terhadap itu sudah sebanding lurus.
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda menilai, harga cabai memang rentan mengalami kejatuhan harga sebab distribusi yang diandalkan pemerintah saat ini masih terpaku pada cabai segar tanpa diimbangi dengan kualitas penyimpanan yang berstandar mutu. Akibatnya, cabai yang disimpan rawan busuk dan daya jualnya jatuh seiring dengan turunnya kualitas.
“Pertanyaannya adalah bagaimana pemerintah bisa memperbaiki kualitas penyimpanan ini jikalau cabai segar memang masih banyak diminati,” kata Nailul.
Adapun distribusi lainnya yang dapat dilakukan pemerintah, Nailul melanjutkan, pemerintah bisa mengekspor cabai dalam bentuk olahan seperti komoditas sambal. Sebab, kata dia, komoditas cabai yang memiliki kerentanan rusak tidak dapat bertahan lama jika dikirim dalam perjalanan yang relatif lama sehingga peluang rusak terhadap komoditas tersebut menganga lebar.
Adanya ekspor komoditas cabai olahan seperti sambal, selain menambah daya saing dan mutu, juga dapat memperkenalkan identitas Indonesia secara global. Sebab, menurut dia, Indonesia memiliki keragaman sambal yang memiliki daya saing kuat dan berpotensi mempengaruhi lidah masyarakat global.
Di sisi lain dia menggarisbawahi, banyaknya peredaran cabai di pasaran ketimbang sisi konsumsi maka secara otomatis akan berpengaruh mengurangi harga pembelian di tingkat petani. “Maka dari alternatif-alternatif distribusi yang sudah dikemukakan, pemerintah perlu memikirkan lebih matang bagaimana menyerap cabai petani dengan maksimal agar harga nggak jatuh,” kata dia.
Mengacu catatan BPS tahun 2018, Provinsi Sumatera Barat merupakan salah satu wilayah sentra produksi cabai merah di Indonesia. Di wilayah tersebut pada tahun 2017, tingkat konsumsi masyarakat terhadap cabai menjadi yang tertinggi yakni 0,59 kilogram (kg) per kapita per bulan.
Meskipun demikian, statistik menyatakan, pada tahun yang sama Sumatera Barat mengalami surplus cabai sebab konsumsi rata-rata per tahun hanya 30 ribu ton. Sehingga sisanya didistribusikan ke wilayah lain.
Artinya, Nailul menilai, setinggi apapun konsumsi masyarakat di suatu wilayah sentra terhadap cabai perlu ditindaklanjuti pemerintah dengan strategi distribusi yang mumpuni.
Ekonom dari Universitas Indonesia Fithra Faisal menilai, penambahan cold storage dalam kapasitas penyimpanan cabai petani perlu dilakukan pemerintah. Dia juga menyarankan agar konsumsi cabai segar pelan-pelan harus diarahkan ke cabai kering maupun pengolahan cabai.
“Apalagi kalau cabai ini dikeringkan dan diolah sedemikian rupa, saya kira justru akan memiliki nilai tambah yang baik,” kata dia.